Rabu, 11 April 2018

Pilkada Lewat DPRD Dinilai Tak Atasi Politik Uang, Ini Saran Perludem

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini dalam diskusi di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Rabu (21/3/2018). (KOMPAS.com/ MOH NADLIR)

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi ( Perludem) Titi Anggraini menegaskan, biaya politik tinggi tidak bisa dijadikan alasan untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah ( pilkada) langsung menjadi pilkada lewat DPRD. Titi menilai, justru para calon kepala daerah yang sering menjebak dirinya sendiri dalam ongkos politik yang mahal. "Sekali lagi, biaya politik tinggi yang menjebak kepala daerah, justru dikeluarkan untuk hal-hal yang haram dilakukan dalam hukum pilkada," kata Titi dalam keterangan resminya, Rabu (11/4/2018).
Menurut dia, DPR dan pemerintah akan jauh lebih produktif jika melakukan perbaikan terhadap sistem pemilihan kepala daerah yang telah ada.
Pertama, keduanya perlu membangun norma hukum di dalam Undang-Undang Pilkada untuk menjatuhkan sanksi bagi partai atau calon yang terlibat dalam mahar politik. "Tidak lagi mesti pemberian uang selesai dilakukan. Tetapi, bagi partai politik, jika sudah ada permintaan uang kepada partai politik terkait pencalonan, sanksi tegas sudah bisa dijatuhkan," kata Titi. Hal yang sama juga akan berlaku bagi calon kepala daerah.
Menurut Titi, apabila calon menawarkan janji pemberian tertentu kepada partai politik, maka bisa dikenakan sanksi yang tegas. Kedua, Perludem meminta DPR dan pemerintah membangun pengaturan belanja kampanye di dalam Undang-Undang Pilkada. Dengan adanya pembatasan belanja kampanye, maka akan melengkapi ketentuan pembatasan sumbangan yang ada di dalam undang-undang sebelumnya. "Ketiga, menguatkan aparatur penegakan hukum pemilu, untuk lebih tegas melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran kampanye, khususnya dana kampanye yang tidak jujur, serta penjatuhan sanksi kepada pelaku politik uang," ujar dia.
Ilustrasi Pilkada (KOMPAS/PRIYOMBODO) Titi juga menegaskan bahwa perdebatan terkait dengan mekanisme pemilihan kepala daerah langsung atau melalui DPRD adalah diskursus yang sudah tuntas pada 2014 silam. Pada saat itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghentikan perdebatan tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014. "Jika wacana mekanisme pemilihan kepala daerah kembali diperdebatkan, ini adalah langkah mundur," kata Titi. Ia menganggap mencuatnya wacana itu justru semakin memperkeruh pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Terkait dengan alasan biaya politik yang tinggi, Titi juga menganggap alasan tersebut perlu dilihat secara serius, apakah persoalan ini berasal dari sistem pemilihan kepala daerah langsung atau tidak. "Dari fakta yang terjadi, biaya politik yang tinggi, justru dikeluarkan oleh calon kepala daerah untuk hal-hal sudah dilarang di dalam UU Pilkada," kata Titi.
Titi pun mempertanyakan mengapa elite politik harus mengorbankan kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpin daerahnya melalui pilkada langsung. "Lalu, ketika biaya politik tinggi itu disebabkan oleh partai politik, dan perilaku oknum kepala daerah sendiri, mengapa daulat rakyat untuk menentukan pemimpin daerahnya yang mesti direnggut?" kata Titi. Perludem melihat pemahaman elite politik atas wacana ini cenderung tidak tepat. Ia pun khawatir wacana ini bisa berdampak buruk dan menghasilkan kekeliruan. Titi menyarankan agar DPR dan pemerintah fokus melakukan perbaikan terhadap sistem pemilihan kepala daerah.

Sumber
https://nasional.kompas.com/read/2018/04/11/11412291/pilkada-lewat-dprd-dinilai-tak-atasi-politik-uang-ini-saran-perludem.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar