Jumat, 02 November 2018

Bukti Pemerintah Prioritaskan Masyarakat, Bantuan Tambahan JKN Siap Dicairkan Rp1,5 triliun


JAKARTA – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan menyatakan siap menerima hasil putusan Mahkamah Agung (MA). Putusan tersebut membatalkan peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Dirjampelkes) terkait layanan kesehatan pada pasien katarak, bayi baru lahir sehat, dan rehabilitasi medik.

Menurut Kepala Humas BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma’ruf, peraturan tersebut bukan pembatasan, tapi detail dari kriteria medis yang ditanggung atau tidak oleh BPJS Kesehatan.
“Itu kriteria medis ya, makanya perlu disusun oleh para ahli,” kata Iqbal, Selasa (23/10).
Iqbal menyatakan, keputusan MA bisa dilaksanakan dalam waktu 90 hari setelah diterima. Selain itu, mengenai kejelasan hal apa saja yang bisa dan tidak bisa ditanggung, Iqbal mengatakan akan mempelajari lebih lanjut. Meski demikian, Iqbal menghormati putusan MA yang bersifat final.
“Tidak ada upaya hukum lain yg bisa ditempuh oleh BPJS Kesehatan,” jelas Iqbal.
Sementara itu Ketua IDI Ilham Oetama Marsis mempertanyakan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes), terkait jampelkes Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak dalam Program Jaminan Kesehatan. Menurut Ilham, penyakit katarak menempati posisi teratas sebagai penyebab kebutaan di Indonesia.
“Yang menjadi masalah apakah surat keputusan itu tepat adanya? Sebagai contoh katarak menduduki peringkat pertama di Indonesia dan menempati posisi kedua di Asia,” kata Ilham saat Rapat Komisi IX DPR RI Jakarta, Senin, 17 September 2018, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi IX dengan Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan dan BPJS, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).
Ilham menambahkan, jika tidak dilakukan upaya preventif, maka penyakit katarak di Indonesia bisa menempati peringkat pertama di dunia. Hal senada juga disampaikan oleh Menteri Kesehatan, Nila F. Moeloek yang meminta Direktur Utama BPJS, Fachmi Idris untuk meninjau kembali aturan tersebut demi mengefisensi anggaran BPJS.
Dia menyebut bahwa negara akan mengalami kerugian yang jauh lebih besar jika kasus katarak tidak ditangani dengan baik. Nila mengungkapkan bahwa pada tahun lalu, tercatat sebanyak 1,5 juta orang dengan kebutaan akibat katarak tidak bisa bekerja.
“Kalau mereka dituntun, katakanlah oleh dua orang maka dua orang itu juga tidak akan bekerja, kerugian negara pun jauh lebih besar dibandingkan dengan Rp2,6 triliun (klaim katarak selama 2017),” kata Nila.
Sementara untuk efisiensi biaya, salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah pemberian indikasi operasi yang tepat oleh dokter kepada pasien katarak.
“Indikasi harus tepat agar mencegah terjadinya komplikasi seperti glukoma dan seterusnya, sehingga target 2020 penurunan penderita katarak di Indonesia terjadi. Kalau tidak, kasus ini akan meningkat menjadi nomor satu (di dunia),” kata dia.
Adapun rapat yang digelar sejak pukul 14.30 hingga 21.30 WIB itu, menghasilkan dua kesimpulan sementara mengenai masalah defisit keuangan BPJS. Pertama, Komisi IX DPR RI mendesak pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan RI untuk mencairkan dana cadangan program JKN-KIS yang bersumber dari APBN senilai Rp4,993 triliun.
Selain itu, terkait dengan kesimpulan rapat sebelumnya mengenai status Perdirjampelkes Nomor 2, 3 dan 5 yang sebelumnya telah diminta DPR dicabut akan kembali dibahas hingga rapat selanjutnya, yang dijadwalkan digelar pada 15 Oktober 2018.
“Kita tunggu diskusi yang dilakukan antar stakeholders, baik dari Kemenkes, Persi, hingga IDI dengan Direksi BPJS untuk mencari jalan terbaik terkait peraturan nomor 2, 3 dan 5. Jadi untuk ini akan di-pending hingga rapat selanjutnya,” kata pimpinan sidang, Wakil Ketua IX DPR Ichsan Firdaus.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar