Senin, 12 November 2018

Pertumbuhan Impor Serelia/Gandum Terbesar Dari 10 Kelompok Yang Mengalami Peningkatan Impor


Ucapan (janji) kampanye Prabowo Subianto pada Minggu (4/11) untuk mengelola Indonesia menjadi “swasembada pangan, energi, dan air” menjadi ramai dibicarakan. Sebagian mengatakan tak mungkin, pendukung capres no urut 02 tersebut pasti mendukung.
Namun apakah bisa suatu negara tidak melakukan impor sama sekali dan apakah impor buruk bagi perekonomian suatu negara?
Impor atau kegiatan yang memasukkan barang atau jasa ke suatu negara biasanya dilakukan karena negara tersebut tidak dapat menyuplai atau mencukupi – lewat proses produksi, tambang atau tanam – sendiri barang atau jasa tersebut.
Indonesia misalnya mengimpor kedelai hingga sekitar 2 juta ton per tahun karena produksi domestik tak dapat mengimbangi permintaan konsumsi nasional.
Apakah suatu negara bisa tidak mengimpor apapun dari negara lain? Mungkin bisa namun biaya produksinya bisa jadi sangat mahal.
Itulah mengapa suatu negara memutuskan untuk mengimpor barang atau jasa dari negara lain: untuk memastikan bahwa produk atau jasa yang dibutuhkan atau diinginkan penduduk negara itu dapat diperoleh dengan harga yang lebih murah atau efisien.
Realisasi impor RI hingga september 2018 mencapai US$ 14,60 miliar. Angka ini mengalami penurunan sebesar 13,18% dibandingkan Agustus 2018 sedangkan secara tahunan (year on year/yoy) naik 14,18%.
“Nilai impor September 2018 US$ 14,60 miliar, turun sebesar 13,18% dibanding Agustus 2018, year on year meningkat 14,18%,” tutur Deputi Statistik Distribusi dan Jasa Yunita Rusanti dalam jumpa pers di kantor pusat BPS, Jakarta Pusat, Senin (15/10/2018).
Nilai impor dari kelompok migas, kenaikan disumbang oleh peningkatan impor minyak mentah sebesar 51,58%. Sedangkan untuk hasil minyak dan gas mengalami penurunan impor masing-masing sebesar 4,11% dan 3,65%.
Sedangkan dari kelompok non migas, tekanan impor berasal dari 10 golongan barang yang berkontribusi terhadap total impor non migas sebesar 4,3%. Pertumbuhan impor 10 golongan barang ini sebesar 31,4% dari tahun sebelumnya, lebih tinggi dibandingkan barang lain dari luar 10 golongan tersebut sebesar 22,4%.
Peningkatan impor 10 golongan barang HS 2 digit selama periode Januari-September 2018. Barang-barang tersebut di antaranya mesin dan pesawat mekanik (16,89%), mesin dan peralatan listrik (13,59%), benda dari besi dan baja (2,49%), serealia (2,45%) dan ampas atau sisa industri makanan (1,91%).
Diantara 10 barang tersebut hanya 3 barang yang memiliki total andil mencapai 36% yaitu mesin dan pesawat mekanik, mesin dan peralatan listrik, serta besi dan baja. Ketiga barang tersebut juga tumbuh tinggi masing-masing 29,2%; 29,15%; dan 48,5%. Kemudian terkait bahan pangan, terjadi peningkatan impor menjelang ramadhan lalu. Keterbatasan supply dan pergeseran panen di tengah meningkatnya permintaan menjadi penyebabnya. Tercatat impor golongan serelia tumbuh 28,08% periode Januari – April terbesar adalah impor beras yang naik 153%.
Situasi perdagangan global yang tak kondusif telah menyebabkan permintaan terhadap produk industri pengolahan Indonesia berkurang. Dengan melemahnya ekspor dan daya saing produk Indonesia, Kemendag akan mengkaji penggunaan impor bahan baku penolong yang bernilai tinggi pada industri pengguna.
Data dari Kementerian Perdagangan bahwa rata-rata 75% komponen impor adalah golongan bahan baku penolong yang artinya, Indonesia masih mengimpor bahan baku dari negara lain untuk diolah menjadi barang jadi. Terkait dengan infrastruktur, impor bahan material seperti besi dan baja meningkat sangat signifikan yaitu 29,21% dari tahun 2016 ke 2017 dan 32,64% dari tahun 2017 hingga Juni 2018. Proporsi impor bahan baku akan diprediksi akan tetap naik dalam rangka membangun infrastruktur Indonesia.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, pihaknya ingin memastikan bahan baku penolong lebih banyak digunakan pengusaha untuk untuk memproduksi barang berbasis ekspor.
Sebab, jika bahan baku lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan domestik, neraca perdagangan akan semakin tertekan. “Kalau yang masuk itu hanya untuk dipasarkan dalam negeri itu jadi masalah, mudah-mudahan penggunaannya untuk ekspor,” kata Oke di Bandung, Kamis (18/10).
Kajian itu dilakukan dengan membandingkan produk olahan berbahan baku impor berdasarkan kontribusi masing-masing pasar. Caranya, penggunaan barang yang diperuntukan bagi pasar dalam negeri namun berbahan baku impor akan dikonversi ke dalam dolar Amerika Serikat (AS), sama seperti komoditas berbasis ekspor guna mendapatkan perbandingan keduanya.
Menurut BPS, impor bahan baku masih berkontribusi besar 74,82% atau senilai US$ 10,92 miliar terhadap total impor. Meskipun terjadi penurunan 13,53% pada September 2018 dibandingkan Agustus 2017, namun jika dibandingkan dengan bulan yang sama taun lalu, terjadi peningkatan sebesar 13,09%.
Untuk bahan pangan adanya impor beras bertujuan untuk memenuhi kekurangan stok di pasar. Selain itu perlu dicermati bahwa trend impor bahan pangan menurun. Pada tahun 2016, pemerintah impor 27,33 juta ton untuk tujuh komoditas pangan meliputi beras, jagung, kedelai, gula, bawang merah, cabai, daging sapi dan kerbau. Namun tren tersebut menurun di tahun 2017 menjadi 24,68 ton dan sampai Juli 2018 Indonesia masih impor 9,48 juta ton.
Kekurangan stok beras dalam negeri tentu akan meningkatkan harga beras di pasaran. Tidak tanggung-tanggung setiap kenaikan 10% harga beras, akan menambah 1,2 juta orang miskin di Indonesia.
Demikian disampaikan Lead Economist World Bank Vivi Alatas dalam seminar bertajuk “Election Year, A New Era of Indonesia’s Economic Triump” di Universitas Indonesia, Senin (12/11/2018).
“10% kenaikan harga beras akan menyebabkan 1,2 juta orang miskin baru, karena 3/4 orang miskin itu nett costumer beras,” tegas Vivi.
“Artinya, saat harga beras naik ada 3 orang yang dirugikan, dan 1 orang diuntungkan dari kenaikan harga beras,” jelasnya.
Bahkan, menurut Bank Dunia, harga beras di Indonesia 70% lebih mahal dibandingkan dengan harga beras internasional. Padahal, harga beras merupakan kunci dalam mengentaskan kemiskinan.
“Harus dipastikan bahwa harga beras itu terjangkau. Sehingga orang yang sudah naik kelas, tidak turun kelas lagi,” tuturnya.
Kendati ekspor dan impor masih terpuruk, namun kinerjanya tak memberi dampak yang terlalu buruk bagi pertumbuhan ekonomi hingga kuartal III/2018.
Secara tahunan (year-on-year/yoy), ekonomi tumbuh sebesar 5,17 persen, berbanding dengan pencapaian pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 5,03 persen.
Posisi pertumbuhan ekonomi hingga kuartal ini adalah yang tertinggi sepanjang pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo dan Jusuf Kalla.
Pertumbuhan terjadi pada semua komponen, mulai dari konsumsi rumah tangga dan pemerintah, ekspor barang dan jasa, hingga pembentukan modal tetap bruto (PMTB).
Kontribusi terbesarnya masih berasal dari konsumsi rumah tangga. Komponen ini tumbuh 5,01 persen, melampaui pertumbuhannya pada periode waktu yang sama tahun lalu, sebesar 4,99 persen.
Konsumsi pemerintah tumbuh dua kali lipat dibanding kuartal III tahun lalu, yakni dari 3,46 persen menjadi 6,28 persen. Hajatan besar politik pada tahun depan disinyalir menjadi pemicunya.
Persiapan pemilu juga menyokong pertumbuhan konsumsi lembaga nonprofit yang melayani rumah tangga, yaitu 8,54 persen berbanding 6,01 persen pada kuartal III/2017




Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar