Selasa, 08 Januari 2019

Kemenkeu Menjawab Pernyataan Prabowo-Sandi Terkait Beban Utang Masyarakat Indonesia Sejak Lahir

Utang dalam sebuah negara bukanlah hal yang tabu sepanjang digunakan untuk hal yang bisa meningkatkan kapasitas, sehingga akan memberikan hasil yang produktif dan dapat menambah penghasilan.
Hampir seluruh negara di dunia memiliki utang. Jumlahnya juga berbeda pada setiap negara, tergantung ukuran ekonominya. Bukan dilihat dari jumlah penduduknya.
Sandiaga Uno sempat memberikan pernyataan perihal jumlah utang Indonesia saat ini, dan menimbulkan polemik. Pernyataannya yang menyebut bahwa jumlan utang pemerintah saat ini, setiap anak kecil yang ada di Indonesia menanggung beban utang Rp 13 juta per kepala ternyata berbeda dengan yang diungkapkan Prabowo sebelumnya.
Prabowo mengatakan, setiap bayi yang baru lahir di Indonesia menanggung utang Rp 9 juta.
Entah apa yang menjadi perbedaan dari ucapan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno terkait utang. Belum jadi saja mereka sudah berselisih pendapat bagaimana nanti menjalankan tugas negara dengan ratusan juta penduduk.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti menjelaskan, sebenarnya, perhitungan utang perkapita tidak berkaitan dengan kemampuan membayar utang, karena kemampuan membayar utang dilihat dari penghasilan suatu negara (PDB). Perhitungan utang perkapita juga tidak berkaitan dengan utang per manusia Indonesia yang baru lahir, karena utang tersebut tetap dibayarkan oleh Pemerintah dan tidak dikelola oleh masing-masing penduduk Indonesia.
Sebagai analogi yang mudah dicerna, sebuah perusahaan yang memiliki pabrik, bila utang digunakan untuk membeli mesin di pabriknya atau membeli tanah dan bangunan untuk menambah pabrik baru, maka akan dapat meningkatkan kapasitas produksi yang akan menambah pendapatan pabrik tersebut.
Maka, beban utang pada sebuah perusahaan tidak bisa dihitung dari berapa jumlah pegawainya, tapi dilihat dari pendapatan operasionalnya.
“Dengan analogi yang sama, ketika kita meminjam uang di Bank, tidak akan ditanya berapa jumlah anak kita tapi berapa penghasilan yang diperoleh,” ujar Nufransa dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (5/1/2018).
Ia melanjutkan, saat ini kondisi utang Indonesia jauh lebih baik dibandingkan dengan beberapa negara lainnya. Pada tahun 2018 rasio utang perkapita Pemerintah Indonesia sebesar USD1.147 dengan rasio utang per PDB sebesar 30%, jauh lebih rendah dibandingkan Thailand (USD2.928 perkapita, rasio utang 42% per PDB), Malaysia (USD5.898 perkapita, rasio utang 55% per PDB), bahkan Filipina (USD1.233 per kapita, rasio utang 40% per PDB).
Rasio utang yang berada jauh di bawah 60%, menunjukkan bahwa utang Indonesia aman dan mampu dibayar kembali. Hal ini menunjukan bahwa utang Pemerintah dalam keadaan aman dan dikelola dengan sangat hati-hati. Pemerintah masih sangat mampu untuk membayar utang negara dan telah menyiapkan anggarannya dalam APBN setiap tahun. Pembayaran utang tidak hanya berasal dari pajak, namun juga berasal dari hasil investasi Pemerintah, penerimaan negara bukan pajak, royalti dan lain-lain.
Namun, yang menjadi indikator penting dan digunakan secara luas oleh setiap negara dalam mengukur tingkat keamanan berutang dan pengambilan kebijakan adalah rasio utang per PDB. Rasio ini membandingkan jumlah utang yang dimiliki Pemerintah dengan size perekonomian suatu negara.
Rasio utang per PDB menunjukkan indikasi kemampuan membayar dari suatu negara atas utang yang dimilikinya. Rasio ini menjadi salah satu indikator yang harus dipatuhi Pemerintah dan diatur dalam Undang-undang no 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Menurut Nufransa, jika ingin membahas soal utang negara, sebaiknya tidak melihat dari sisi besarannya dan berapa yang seolah-olah harus ditanggung oleh rakyat, tapi bagaimana cara pemerintah mengelola utang tersebut menjadi lebih produktif.
“Utang hanyalah bagian dari APBN secara keseluruhan. APBN bukan tujuan, APBN adalah alat/instrumen. Tujuan utama kita semua dalam penggunaan APBN adalah untuk mengurangi kesenjangan sosial, mengurangi kemiskinan, sehingga dapat tercapai masyarakat yang adil dan makmur,” jelas dia mengakhiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar