Jumat, 01 Maret 2019

Pemilih Cerdas Pemilu Berkualitas

Tak terasa Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi yang digelar 5 tahunan. Lebih tepatnya pada tanggal 17 April 2019 mendatang. Pesta demokrasi bukanlah pesta biasa tetapi pesta yang menentukan nasib suatu bangsa bahkan daerah selama lima tahun. Apakah suatu daerah akan semakin sejahtera dan tertata, atau malah akan semakin kumuh, semrawut, dan amburadul. Itulah yang dipartaruhkan dalam pesta demokrasi.
Tahun demokrasi, juga bisa dikatakan tahun perebutan kekuasaan yang cukup sengit bagi mereka yang berkecimpung di dunia politik. Layaknya dalam percaturan politik, politik itu untuk mencari kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan itu. Sama halnya, bahwa hakikat politik itu kekuasaan, jadi merupakan suatu yang wajar bila orang terlibat dalam politik tujuannya mencari kekuasaan, tetapi politik juga dapat dimaknai sebagai jalan untuk mencapai kepentingan suatu bangsa. Aristoteles, sang guru politik menyatakan bahwa politik adalah usaha yang dilakukan warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Berangkat dari definisi ini, politik layaknya sebuah alat sepatutnya disosialisasikan. Kenapa? Karena proses perwujudan kebaikan dalam masyarakat membutuhkan sistem dan manajemen informasi yang tepat, guna menghasilkan ilmu politik yang tepat pula. Pendidikan politik dikatakan berhasil kalau masyarakat tidak buta politik. Melek politik disini bukan berarti kita mesti mengikuti organisasi kemasyarakatan atau parati politik dan ikut berpolitik. Maksudnya agar supaya kita lebih kritis dan memahami apa yang sedang terjadi di Indonesia.
Esensi dari sebuah pilpres, pileg bukanlah sekadar perang baliho yang lebar-lebar di pinggir jalan, adu visi dan janji, hiruk pikuk kampanye. Tetapi, bagaimana sikap pemilih dalam menghadapi fenomena tersebut? Bagaimana menjadi pemilih yang cerdas? Apakah mau menjadi golongan putih atau apatis atau terlalu njlimet berpikir yang akhirnya pun tak memilih?
Golput itu sendiri dinilai tidak memecahkan masalah, karena dalam masyarakat demokrasi dibutuhkan partisipasi penuh dari masyarakat. Justru dari masyarakatlah yang secara selektif memilih calon yang lebih baik. jika tidak ada yang lebih baik dari antara semuanya, carilah yang mendingan dari antara semuanya. Jika terpaksa tak ada yang mendingan, pilihan terakhir adalah pilihlah dari antara yang terburuk, mana yang paling sedikit kekurangannya daripada tidak sama sekali.  
Akhir-akhir ini, Indonesia dihebohkan dengan berita bohong/hoax dan ujaran kebencian. Dengan kemajuan teknologi, selain membawa pengaruh positif, ternyata membawa dampak buruk juga bagi bangsa Indonesia, sebagai contoh berita terbaru bahwa sebanyak 7 kontainer kotak suara sudah dicoblos. Hal ini tentu menciderai pesta demokrasi kita, menciptakan kegaduhan, ketidaknyamanan. Alih-alih, dinamika politik Indonesia setiap penyelenggaraan pemilu selalu menghadapi persoalan yang berbeda. Saya sependapat dengan Prof. Mahfud MD (Mantan Ketua MK) bahwa sebaiknya kampanye itu adu program saja. Tak usah pakai black campaign/negative campaign, tapi kalau terpaksa melakukan negative campaign maka tidak ada sanksinya. Menurut beliau, berbeda antara black campaign dengan negative campaign. Black campaign merupakan kampanye dengan dasar fitnah dan kebohongan tentang lawan politik, sementara negative campaign adalah kampanye yang mengemukakan sisi negatif/kelemahan faktual lawan politik. Beliaupun pun mencontohkan perbedaan antara black campaigndengan negative campaign yakni kalau  bilang bahwa Jokowi PKI atau bilang bahwa Prabowo terlibat ISIS, itu black campaign. Tapi kalau bilang Jokowi kerempeng/bilang Prabowo dulu kalah terus dalam pilpres, maka itu negative campaign. Black campaign bisa dipidana, negative campaign bisa dilawan dengan argumen.
Hoax dinilai sangat berbahaya, karena dinilai mengancam persatuan bangsa Indonesia. Maraknya berita hoax di tahun demokrasi bisa menyebabkan perpecahan antar agama bahkan negara. Padahal Indonesia kini sedang tumbuh. Indonesia akan memiliki sejarah persatuan yang lebih kuat antar-etnik jika dibina keberagaman paham dan agama. Indonesia memerlukan suatu tatanan ekonomi pokitik yang memiliki kekhususan dimana semua perbedaan yang ada dapat dikelola serta bisa menumbuhkembangkan negara yang baru tumbuh tanpa memberangus perbedaan yang ada. Oleh karenanya, hoax harus benar-benar diberantas hingga akarnya, karena akan menghambat terwujudnya keberlanjutan pembangunan nasional, Indonesia juga dibangun bukan atas dasar kelanjutan pemerintahan penjajah dengan pemerintahan baru yang diisi oleh kelompok tertentu, tetapi adanya perwakilan-perwakilan, misalnya dari jalur suku bangsa dengan DPD dan dari jalur ideologi politik melalui partai nasional dan partai lokal. Hal yang berkaitan dengan hoax ini tentu menjadi PR kita bersama, bukan hanya tugas kepolisian, juga tugas civitas akademika, setiap penyelenggara negara hingga masyarakat. Para tokoh politikpun seharusnya mencontohkan perilaku yang mencerminkan nilai persatuan bangsa Indonesia, bukan malah saling menebarkan berita kebohongan. Sehingga, terciptalah suasana pemilu yang demokratis, damai, berkualitas, dan bermartabat.
UU ITE yang seharusnya menjadi aturan pengikat yang notabenenya membuat jera para pelaku tindak pidana hoax, ujaran kebencian, dan sejenisnya. Justru menjadikannya ketidakpastian, sebagai contoh tindakan yang dinilai melanggar beberapa pasal, ternyata hanya bentuk kreativitas atau sebut saja UU ITE berisi pasal karet. Sudah seharusnya, semua elemen masyarakat juga menekan untuk sesegera mungkin dilakukan revisi terhadap UU ITE atau dengan cara lain membuat aturan PKPU yang selaras dengan UU Pemilu, dalam asas hukum dikenal Lex Superior Derogat Legi Inferiori.
Kita juga harus memperbaiki sistem demokrasi kita. Demokrasi adalah sistem pemerintahan terbaik diantara berbagai pilihan yang ada. Demokrasi memungkinkan pemerintah dikelola berdasarkan aspirasi warga negara, bukan kehendak tirani penguasa. Namun, yang kita lihat demokrasi kita saat ini hanya berhenti pada aspek prosedural, bukan substansial. Kita memang memiliki sistem multipartai dan mekanisme pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung, dimana hal ini diharapkan bisa menyerap aspirasi rakyat secara langsung. Namun, alih-alih suara rakyat yang seharusnya terwakili dan aspirasi tersampaikan, yang terjadi adalah manipulasi dan kebohongan politik yang ditebar kemana-mana. Hampir tidak ada perhelatan politik yang luput dari money politics. Rakyat sengaja tidak dididik untuk memiliki kesadaran politik akan hak-haknya sebagai warga negara, tetapi malah makin subur diajari untuk menjual suaranya demi uang Rp50.000-100.000 dengan mengorbankan kepentinganya yang lebih substansial. Masalah money politic adalah masalah moral. Dan praktik ini hanya bisa diberantas oleh tokoh-tokoh agama dan kedewasaan masyarakat itu sendiri. Berbicara moral, hal tersebut tentu berkaitan dengan masalah keyakinan. Dan praktik money politic hanya bisa diberantas lewat pendidikan agama yang baik.
Perlu diingat juga bahwa untuk menciptakan pemilu di Indonesia yang benar-benar berkualitas dan sukses yakni suksesnya pemilu tidak hanya dinilai dari suksesnya penyelenggaraan, ada yang lebih substansial yakni tingkat partisipasi pemilih. Semakin tinggi tingkat partisipasi pemilih untuk menggunakan hak pilihnya, dinilai sukses juga pemilunya. Indonesia dimata dunia adalah negara paling demokratis ketiga setelah amerika dan india. Tentu, jika partisipasi pemilih di Indonesia sangat rendah, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mengalami penurunan sebagai negara demokratis.

Sumber : http://bacafakta.com/pemilih-cerdas-pemilu-berkualitas/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar