Senin, 06 Mei 2019

Ijtima Ulama 3 Mendapat Tanggapan Negatif Dari NU, Muhammadiyah Hingga MUI


JAKARTA – Hasil Ijtima III yang digelar oleh GNPF Ulama, mendapat tanggapan negatif baik dari NU, Muhammadiyah hingga dari Majelis Ulama Indonesia atau MUI.
Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan bahwa peran ulama harusnya mempersatukan masyarakat. Haedar mengimbau agar para ulama berdialog serta tak saling klaim mewakili atau merepresentasikan seluruh ulama di Indonesia.
Anggota PP Muhammadiyah, Dadang Kahmad menilai bahwa hasil Ijtima Ulama III tak lebih hanya peringatan kepada penyelenggara pemilu agar jujur, transparan, dan terbuka. Namun alangkah lebih baik jika ada temuan agar dilaporkan sesuai mekanisme hukum.
Sementara itu, Wasekjen PBNU, Imam Patuduh mengungkapkan, adanya Ijtima Ulama III harus dihormati dalam konteks demokrasi, namun yang tetap perlu diperhatikan adalah apakah itu sesuai atau tidak dengan norma yang berlaku atau tidak.
Imam menuturkan, ketika pendapat sudah mengarah kepada sifatnya hal-hal yang provokatif, dan di luar kewajaran, dan di luar hal yang berlaku di Indonesia, maka kita seharusnya menggunakan pendapat-pendapat yang betul-betul sesuai dengan kaidah berbangsa dan bernegara dan aturan hukum yang berlaku.
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Zainut Tauhid Sa’adi menyampaikan, banyak pihak yang menanyakan kepada MUI soal hubungan antara Ijtima Ulama III dengan MUI.
Dia menegaskan bahwa MUI tidak memiliki keterkaitan dengan Ijtima Ulama III yang diinisiasi oleh beberapa orang, baik secara program maupun kelembagaan.
Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Kerukunan Umat Beragama, Yusnar Yunus, langkah Ijtima Ulama III tidak tepat karena belum ada keputusan resmi dari penyelenggara pemilu. Hasil Ijtima Ulama juga tidak mewakili seluruh ulama di Indonesia.
“Kalau tidak sepakat dengan keputusan KPU dan Bawaslu ajukan ke MK. Ini kan belum ada keputusan, kemudian membimbing melakukan diskualifikasi. Bagi kami ini tidak tepat, kurang tepat karena harus berdasarkan Undang-Undang,” katanya.
Peneliti politik Islam LIPI, Wasisto Raharjo Jati bahwa Ijtima Ulama III tak lebih sebagai politisasi status “ulama” dan agama itu sendiri. Orang-orang yang ada di dalam Ijtima Ulama III adalah simpatisan kubu 02, dan yang mereka lakukan semata agar jagoannya menang di pilpres. Adanya Ijtima Ulama III juga berpotensi memicu konflik sosial di masyarakat.
Dugaan politisasi agama sebetulnya sudah muncul sejak tahun lalu, ketika kelompok ini mulai muncul di panggung politik nasional. Ijtima Ulama pertama yang diselenggarakan pada 27 Juli 2018 lalu menghasilkan keputusan politik berupa dukungan kepada Prabowo Subianto sebagai capres dan dua nama (politikus PKS Salim Segaf al-Jufri dan pendakwah Abdul Somad) sebagai cawapres.
Ijtima Ulama II kembali memutuskan perkara politik praktis: orang-orang yang sama merekomendasikan Prabowo bersanding dengan Sandiaga Uno. Tuduhan politisasi agama pun semakin mengemuka, meski BPN sendiri membantahnya. Selain politisasi agama, Wasis juga melihat kalau hasil Ijtima Ulama III berpotensi memicu konflik sosial di masyarakat.
“Kita perlu lihat bahwa fatwa itu bukan hukum positif, tapi publik terpecah karena mis-informasi menyamakan fatwa dengan aturan hukum,” pungkasnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar