Minggu, 22 September 2019

PMII UNJ Gelar Diskusi Kita Papua, Kita Indonesia

Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) UNJ menggelar diskusi yang bertajuk “Memeluk Erat Papua” pada hari Jumat (20/9) bertempat di Kedai Kopi Kafein Kampus A Universitas Negeri Jakarta.
Diskusi ini menghadirkan narasumber antara lain Khairi Fuady, S.sos (Pimpinan Lembaga Al-Mahabbah Foundation), Satrio Priyo Utomo, M. Hum (Sejarawan Muda), dan Ludia Maryen S.Pd (Miss Papua 2018). Moh Nasir Tokomadoran, S.Pd.I MM. (Tokoh Papua)
Acara ini dihadiri oleh puluhan peserta dari berbagai kalangan seperti Mahasiswa UNJ, aktivis, dan perwakilan media. Selain itu, acara ini juga dihadiri oleh beberapa mahasiswa afirmasi asal Papua.
Kita sama-sama merangkul dan memeluk Papua agar mereka tidak merasa dibedakan, tidak merasa, dihargai, dan disingkirkan dari NKRI ini“ ujar Khairi, pimpinan Lembaga Al-Mahabbah Foundation yang juga merupakan pegiat media sosial.
Kita harus menjaga semangat kebhinekaan untuk saudara kita di Papua karena Papua adalah Indonesia,” imbuhnya.
Sejarawan alumnus magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Satrio, memaparkan bagaimana isu disintegritas Papua hari ini dalam perspektif sejarah.
Saya kurang sepakat dengan statement untuk membawa Papua dalam diskusi referendum. Negara Republic tidak didirikan dengan referendum,” paparnya.
Satrio mengupas habis bagaimana proses Papua bisa masuk kedalam pelukan NKRI sampai hari ini, serta dinamika politik dan ekonomi yang turut menyertai nya.
Papua itu tidak butuh uang, tetapi Papua butuh kasih sayang. Kita sebagai generasi milenial harus bijak dalam memilah informasi agar tidak menimbulkan perpecahan antar ras, suku, budaya, maupun agama,” jelasnya
PMII UNJ juga menghadirkan Ludia yang merupakan Miss Papua tahun 2018 dan Miss Persahabatan Indonesia tahun 2018. Ludia membagikan pengalaman menarik nya sebagai seorang Miss Papua baik ketika berkegiatan didalam negeri maupun diluar negeri. Ia mengaku, dalam beberapa kesempatan mendapatkan perlakuan rasial dalam bentuk psikis.
Saya adalah perempuan Papua yang sedang berproses, saya membalasnya dengan tindakan dibuktikan dengan berprestasi. Apabila kita mengalami rasisme, tunjukan dengan prestasi bukan dengan berdiam diri,” ujar Ludia.
Ludia mengaku, ia tetap mencintai Indonesia dengan beraneka ragam suku dan budaya nya. Ia berharap kasus yang belakangan menyoroti masyarakat Papua bisa segera terselesaikan dan bangsa ini kembali hidup saling bergandengan. “Saya sebagai masyarakat Papua menuntut keadilan dalam konflik ini agar dapat terselesaikan,” tegasnya.
Di penghujung acara, peserta diskusi mengikrarkan sebuah deklarasi perdamaian yang mengutuk segala tindak provokasi terhadap kehidupan bernegara di Indonesia. Deklarasi ini dipimpin oleh Polymandersen, seorang mahasiswa afirmasi UNJ asal Papua.
Poin-poin dalam deklarasi perdamaian tersebut antara lain: Kami pemuda dan pemudi Papua siap menjaga keutuhan NKRI dari Sabang sampai Merauke, Kami akan bergandeng komitmen untuk menjunjung Bhinneka Tunggal Ika di tanah Papua dan seluruh pulau didalam NKRI, dan Kami menghimbau semua masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi baik oleh oknum yang ingin memecah belah tanah air.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar