Senin, 23 September 2019

UU No. 30 Tahun 2002 Telah Menjadikan KPK Negara Dalam Negara


Pembentukan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi membawa optimisme rakyat Indonesia untuk pemberantasan hingga ke akar-akarnya. Namun dalam perjalanannya berbagai kelemahan yang diamanatkan UU KPK tersebut telah dimanipulasi sekian rupa oleh oknum-oknum internal KPK yang telah menancapkan kekuasaannya di internal KPK sehingga menjadi KPK seperti negara dalam negara.
Lalu ketika pemerintahan Presiden Jokowi bersama wakil rakyat di DPR RI mencoba membenahi KPK agar kembali kepada marwah semula dan tetap dalam jalur pemberantasan korupsi yang sebenarnya, internal KPK baik pimpinan yang dimotori trio Agus Rahardjo, Saut Situmorang dan Laode M Syarif beserta seluruh pegawai KPK langsung bergejolak secara liar.
Aksi-aksi norak dan diluar jalur konstitusional bahkan berkesan melawan hukum dipertontonkan tanpa malu di depan seluruh masyarakat Indonesia agar dapat mendapat simpati dari rakyat. Namun rakyat yang telah jijik dengan konspirasi oknum Taliban di internal KPK selama ini sudah tak perduli dan malah berbalik mendukung perubahan pada UU KPK tersebut.
Permainan kotor yang dilakukan Abraham Samad demi ambisinya menjadi wakil presiden untuk mendampingi Jokowi saat Pilpres 2014 lalu membuka mata masyarakat bahwa KPK bukanlah lembaga suci yang tidak mungkin dikotori kepentingan sempit pribadi dan kelompok baik pimpinan maupun pegawai KPK itu sendiri.
Godaan politik pada orang sekelas ketua KPK sangat besar. Apalagi ketika ia berhasil membangun citra lembaganya dengan tempelan “perang suci”. Betapa banyak orang yang mencintai Samad pada waktu itu.
Dan ketika akhirnya Jokowi memilih Jusuf Kalla sebagai Wakilnya, Hasto pun diminta untuk bertemu Samad memberitahukan bahwa posisi wakil sudah terisi.
Apa jawab Abraham Samad kepada Hasto?
“Ya, saya tahu, saya sudah melakukan penyadapan.” Dia juga bilang, “Saya tahu yang menggagalkan saya menjadi calon wakil presiden adalah Pak Budi Gunawan.”
Mengerikan. Betapa Samad dengan rasa tanpa berdosa menggunakan hak menyadap pada KPK bukan untuk kepentingan memberantas korupsi, tetapi demi ambisi politiknya.
Meskipun Abraham Samad membantah cerita Hasto, dia tidak pernah mempolisikan Hasto karena fitnah. Samad mengandalkan konferensi pers untuk membersihkan namanya. Bermain opini, berlindung dicbalik jubah kesucian lembaganya.
Dari kasus ini kita bisa melihat bahwa niat mulia KPK yang awalnya dibuat untuk memberantas korupsi di Indonesia, ternyata dipakai tangan-tangan politik demi kepentingan sebagian golongan.
Dan desas-desus semakin kuat bahwa fasilitas penyadapan itu juga dipakai untuk memantau ruang komunikasi Presiden, terutama saat pilpres berlangsung.
KPK sudah menjadi negara kecil di dalam negara Indonesia.
Segala sesuatu berubah sesuai zaman. Yg tetap tidak berubah ya perubahan itu sendiri.
Oleh sebab itu 99,9% rakyat kita mendukung KPK yg kuat. Sebaliknya hanya yg berjiwa korup yg ingin membuat KPK lemah. Atau dibubarkan. Tetapi kita tentu tidak ingin KPK seperti Negara dalam Negara.
Itulah sebabnya, disisa waktunya yg tinggal 3 Minggu DPR tidak mau menyerah. Revisi UU KPK inisyatif DPR secepat kilat disetujui. Lalu dikirim ke Presiden. Mereka mendesak Presiden untuk menandatanganinya atau sebaliknya Presiden punya waktu 6 bulan untuk memutuskan.
Presiden Jokowi dengan semangat pemberantasan korupsi yang tidak mengenal kompromi dan demi menjaga peran sentral KPK lalu akhirnya menerbitkan Surat Presiden kepada DPR demi mengubah pokok-pokok dan substansi pasal-pasal yang menurutnya akan memperlemah peran sentral KPK dalam memberantas korupsi.
Sebaliknya KPK dengan berpolitik pula menghimpun LSM dan massa masyarakat awan yg sebagian hanya ikut2an membela pemberantasan korupsi. Mereka tidak faham konspirasi internal KPK. Termasuk berkuasanya kelompok pegawai beraliran Taliban yang kekuatannya bisa menakutkan komisioner sendiri.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar