Kamis, 21 November 2019

Mantan ISIS Minta Generasi Milenial Kritis Lawan Propaganda Radikalisme


Mantan Returnis ISIS Nurshadrina Khaira Dhania berbagi pengalamannya sejak memutuskan hijrah ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS pada 2016 lalu.
Nursadrina pernah terpapar ideologi dan rayuan paham ISIS melalui Media Sosial (medsos) saat berada di bangku SMA. Ia bahkan mengajak belasan keluarganya, termasuk ayah, ibu, kakak, adik, nenek, paman, dan lain-lain, pergi ke Suriah.
Namun harapannya untuk hidup di negeri khilafah ternyata hanya mimpi belaka. Di sana, Dhania dan keluarganya hidup tersiksa dengan kebiadaban dan kesadisan ISIS. Janji-janji manis yang pernah ia bayangkan pun tak terbukti. Yang ada, tiap hari ia dipaksa melihat kekerasan dan pembunuhan yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam.
Oleh karena itu, dengan pengalaman buruknya yang dialaminya, dirinya mengajak generasi milenial untuk melawan propaganda radikalisme yang banyak bertebaran di media sosial.
Salah satu caranya dengan berfikir kritis, meningkatkan critical thinking. Sehingga jika ada narasi-narasi yang agak aneh, menyebar kebencian, menurut dia harus dikritisi dulu, bener tidaknya.
“Paham-paham radikalisme ini banyak bertebaran di media sosial (medsos) walaupun offline juga ada. Nah anak muda sebagai generasi milenial ini kan gak bisa jauh dari yang namanya medsos sehingga kita anak-anak muda itu harus bisa membentengi diri ketika bermain medsos” cerita Nurshadrina dalam keterangan tertulis, Rabu (20/11/2019).
Dari pengalaman pahit itulah, Nurshadrina meminta generasi muda Indonesia untuk benar-benar mewaspadai apapun bentuk propaganda yang dilakukan kelompok ISIS dan radikalisme lainnya. Ia bahkan menggarisbawahi terkait narasi-narasi yang menggunakan dalil-dalil agama.
“Dalam surat Al-Hujurat ayat 6 sendiri kan Allah memerintahkan kepada kita untuk selalu memeriksa berita yang datang kepada kita agar tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan kita. Setelah itu kita bertanya kepada orang-orang yang lebih mengetahui, apakah itu aparat pemerintahan atau kepada alim ulama,” ujarnya gadis berumur 20 tahun itu.
Namun kata dia, sulit untuk mengetahui ciri-ciri orang yang menyebarkan radikalisme karena hal itu berkaitan dengan paham atau ideologi yang ada di kepala.
“Kita tidak bisa menilai seseorang terkena paham radikalisme dari fisiknya saja, apa dia berjenggot atau pakai celana cingkrang. Kita baru bisa mengetahuinya ketika kita berbincang dengan mereka atau dengan melihat tulisan-tulisannya di medsos,” katanya.
Radikalisme, lanjut dia bisa muncul karena pemahaman agamanya yang kurang. Padahal seharusnya jika dipelajari lebih dalam ternyata tidak seperti itu.
Akan tetapi, ia menambahkan dengan kita mendalaminya maka akan lebih paham, sehingga nanti ketika kita bertemu orang baik di offline maupun bertemu narasi-narasi berita di online kita bisa mengetahui kalau ada yang menggunakan dalil-dalil agama yang digunakan hanya untuk kepentingan mereka.
Dia menjelaskan bahwa mereka mengambil dalilnya ada satu ayat dicomot kemudian dibuat doktrin. Padahal sebenarnya Allah menjelaskan bahwa ayat-ayatnya itu saling menjelaskan satu sama lain.
“Contoh seperti ayat membunuh, kita lihat-lihat dulu ayat sebelum atau sesudahnya atau di surat lain bahwa konteksnya untuk apa, kenapa ada ayat ini. Jadi kita tahu arti sebenarnya jihad dan hijrah itu sebenarnya,” ujarnya.
Ia mengaku bahwa saat ini aktif menyebarkan narasi-narasi Islam yang damai serta kontra narasi melawan propaganda radikalisme baik melalui media online maupun medsos. Menurutnya harus ada narasi-narasi pembanding untuk melawan propaganda radikalisme.
“Kita mencoba terus campaign-campaign dan tidak dengan memojokkan. Biasanya orang yang ilmu agamanya rendah dan dia mencari agamanya untuk pertobatan jangan kita malah salah-salahkan justru harusnya kita rangkul,” katanya.
Pemerintah, kata dia mengatakan berperan penting tidak hanya untuk melakukan kontra narasi tetapi juga bisa membuat sosialisasi kepada masyarakat sehingga bisa memberdayakan masyarakat untuk melakukan pencegahan di lingkungan sekitarnya.
Menurut dia harus ada kolaborasi antara pemerintah, organisasi sosial dan juga masyarakat. Selain itu bisa juga dengan menampilkan orang-orang yang pernah terkena paham radikalisme ini untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa bahaya radikalisme ini memang nyata adanya dan ada orang yang pernah terpapar, jadi bukan rekayasa atau buatan dari pemerintah atau pihak manapun.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar