Rabu, 12 Agustus 2020

Alissa Wahid Ungkap Siasat Radikalisme Susupi ASN



Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid mengungkapkan proses terjadinya eksklusivisme beragama di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ikut berkontribusi menciptakan radikalisme di kalangan pegawai kelembagaan, BUMN hingga ASN di Indonesia.
"Jangan heran saat ini ketika ASN, BUMN, lembaga pemerintah itu banyak sekali kader-kader yang berjuang. Kenapa? karena rupanya mereka diberi tugas perjuangan," kata Alissa dalam diskusi daring, Selasa (11/8).

Menurutnya pakem ini berasal dari kelompok garis keras keagamaan. 
"Yang pertama ada pendekatan personal dan engagement, lalu penanaman ideologi eksklusivisme beragama," lanjutnya.
Menurut Alissa berdasarkan fakta di lapangan, pada proses eksklusivisme hingga menuju radikalisme ini telah ditanam sejak perguruan tinggi.
Organisasi radikal sejak menginfiltrasi sejak bangku kuliah dengan menanamkan eksklusivisme beragama. Caranya dengan memperkenalkan konsep diri dan ajaran terkait kebanggaan sebagai umat.
Selanjutnya, mereka yang terlanjur masuk ke dalam kelompok itu akan ditanamkan visi perjuangan, kemudian ditugaskan sebagai kader perjuangan dan terakhir menggerakkan masyarakat.
Menurut putri mantan Presiden keempat Abdurrahman Wahid ini, tahapan yang ia ungkapkan berdasarkan fakta di lapangan yang diceritakan oleh eks kader HTI. Mulanya, gerakan kecil ini menyasar kader dari mahasiswa di kampus yang aktif berorganisasi.
Kemudian setelah mereka kelar kuliah, mereka dijanjikan menempati posisi tertentu dalam dunia kerja, dari lembaga pemerintahan hingga swasta.
Kader juga akan ditugaskan untuk mencari kemenangan kecil. Misalnya, diutus ke daerah di mana Islam agama minoritas, dan mulai menggerakkan masyarakat di sana.
Alissa menyebut, praktik ini sudah tidak asing di Indonesia. Oleh sebab itu, ia pun meminta Pemerintah untuk membuat program dan penanganan yang akurat dan tepat.
Menurutnya, selama ini kelemahan Indonesia dalam melawan radikalisme adalah pendekatan, program, dan sasaran yang tidak tepat.
"Jadi saya ingin menyampaikan ke teman-teman BNPT, tidak cukup dengan hanya melakukan seminar besar-besaran," imbuhnya.
Annisa menjelaskan, salah satu cara mengantisipasi radikalisme adalah memperkuat praktik moderasi beragama, dan membangun praktik bernegara berlandaskan hak konstitusi.
Senada, Pakar Komunikasi FISIP UI Ade Armando mengungkapkan komunikasi pemerintah soal radikalisme selama ini masih belum tegas. Namun ia memaklumi, sebab lawan radikalisme yang dihadapi saat ini memang sebuah kekuatan yang besar.
"Jadi ada semacam ketidakyakinan dari pemerintah untuk bersikap lebih tegas terhadap radikalisme," kata Ade.
Yang lebih penting untuk diwaspadai, kata Ade adalah pihak-pihak yang berpikir untuk mengubah Indonesia secara gradual.
"Melalui jalur kebudayaan, pendidikan, ekonomi, politik, agar Indonesia menjelma sebagai sebuah negara yang diatur oleh syariah," jelasnya.
Ragam kasus radikalisme yang bersarang pada tubuh ASN bukan hal baru.
Pada (4/3) lalu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo menyebut ada 17 calon pejabat eselon I diduga terpapar paham radikal.
Kemudian, akhir tahun lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani mengakui ada anak buahnya yang mempraktikkan ajaran agama secara eksklusif. 
Menurut Sri, pengkotak-kotakan kelompok itu membuat Kementerian Keuangan sulit untuk bersinergi. Praktik keagamaan itu juga dinilai memunculkan sikap intoleran yang membuat ASN tidak peka.
(khr/wis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar