Senin, 24 Oktober 2022

Lewat Presidensi G20, Indonesia Dorong Bantuan Pengelolaan Utang Bagi Negara Miskin

 


Ekonomi global tengah menghadapi banyak masalah. Pandemi Covid-19 menyebabkan perlambatan ekonomi dan juga gangguan rantai pasok. Masalah di rantai pasok berlanjut akibat perang Ukraina dan Rusia. Ini membuat harga sejumlah komoditas yang menjadi kebutuhan pokok, baik komoditas pangan maupun energi, melesat. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya inflasi tinggi. Padahal, di saat yang sama, daya beli masyarakat di banyak negara belum pulih. Alhasil, situasi ini menyebabkan meningkatnya kerentanan utang dan menghambat jalan menuju pemulihan.

Tantangan ekonomi ini terutama berdampak pada negara-negara berpenghasilan rendah dan berkembang. Ini membuat banyak negara lantas jatuh ke jurang resesi dan menghadapi krisis utang. “Dunia menghadapi konsekuensi yang tidak diinginkan, yakni perekonomian melemah, serta potensi memburuknya tekanan utang di banyak negara, tidak hanya negara berpenghasilan rendah tetapi juga negara berpenghasilan menengah dan tinggi," kata Sri Mulyani, Menteri Keuangan Indonesia, dalam konferensi pers usai pertemuan keempat Finance Ministers and Central Bank Governor Jalur Keuangan Presidensi G20, Kamis (13/10) pekan lalu.

 

Seiring dengan tema Recover Stronger, Recover Together, Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia mendorong pembahasan yang menjadi legacy issue dalam Presidensi G20 Indonesia 2022, yaitu tentang memperkuat pengelolaan dan transparansi utang negara. Wakil Direktur Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menuturkan, transparansi dan pengelolaan utang ini menjadi penting seiring tren peningkatan utang global usai pandemi melanda dunia. Eko menyebut, Indonesia perlu mendorong negara-negara maju menghasilkan kesepakatan tentang upaya menghindari krisis utang di masa depan.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menuturkan, salah satu langkah nyata pemerintah Indonesia adalah dengan mendorong kebijakan debt service suspension initiative (DSSI). Lewat kebijakan ini, lembaga keuangan internasional dan negara donor diminta memberi penundaan pembayaran secara terkoordinasi.

Indonesia juga mendorong penerapan lebih lanjut kesepakatan Common Framework for Debt Treatment. Dengan inisiatif ini, negara-negara yang mengalami kesulitan dalam pembayaran kewajiban utangnya dapat mengajukan penundaan, bahkan penyelesaian utang, melalui forum creditors Committee, yang terdiri atas sejumlah negara kreditur dan negara peminjam.

"Indonesia memainkan peran aktif sebagai Presidensi G20 tahun 2022 memberikan dukungan penuh dan mengawal kesepakatan Common Framework for Debt Treatment Beyond DSSI ini agar dapat dimanfaatkan dan diimplementasikan secara maksimal," jelas Luky.

Inisiatif tambahan

Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira juga melihat perlunya mendorong perluasan negara penerima skema DSSI. Tujuannya untuk meringankan beban negara berkembang. Bhima mencontohkan Argentina. Negara ini tidak masuk kategori negara miskin, melainkan negara upper middle income country. Tapi beban utangnya luar biasa setara Rp 515 ribu triliun. Ini perlu diselesaikan juga dan diangkat di forum G20.

Presidensi G20 Indonesia juga mendorong dilaksanakan berbagai inisiatif lain di luar common framework untuk membantu negara-negara yang sedang mengalami kesulitan, termasuk melalui peningkatan bantuan pembiayaan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF dan ADB. Salah satunya dengan melakukan analisa dan review kerangka kecukupan modal lembaga keuangan tersebut.

Bhima juga melihat Indonesia perlu mendorong juga keberlanjutan fiskal negara berkembang. Pengelolaan utang yang berkelanjutan menjadi urgensi, terutama bagi negara berkembang dengan level debt to service yang tinggi. Salah satu cara memastikan utang dikelola secara berkelanjutan adalah melakukan pengendalian tingkat belanja yang bersifat konsumtif atau birokrasi.

Indonesia juga harus berperan lebih aktif dalam penghapusan utang negara miskin, mendorong skema debt swap diperluas ke kreditur surat utang yang dibeli oleh fund manager, perbankan, dan institusi keuangan skala besar. Debt swap selama ini terbatas hanya untuk skema loan G2G belum menyentuh kreditur pasar surat utang.

Bhima menyebut, rekomendasi lain yang bisa dipertimbangkan adalah mendorong Just Energy Transition Partnership (JETP), sebagai bagian dari debt relief ke negara berkembang. JETP merupakan skenario pinjaman lunak dari negara maju, terutama G7, untuk membiayai transisi energi di negara berkembang. Debt to climate atau penghapusan utang untuk mitigasi perubahan iklim juga perlu mendapat porsi yang lebih besar.

Luky memastikan, agenda utang di forum G20 tahun ini menjadi salah satu prioritas penting. Indonesia selaku Presidensi G20 akan mendorong pemanfaatan fasilitas common framework dengan membuat guidelines bagi negara peminjam dan negara kreditur yang ingin berpartisipasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar