Sabtu, 25 Mei 2019

Sisi Negatif Orde Baru Tak Lekang Digerus Zaman Prabowo Dan Cendana Gagal

Dalam pemilu serentak 2019 baik dalam pilpres dan pileg nuansa kebangkitan pewaris rezim terkorup dalam sejarah dunia Orde Baru yang juga merupakan lingkar inti keluarga besar mantan Presiden Suharto semakin nyata.
Anak bungsu Suharto, Hutomo Mandala Putra alias Tommy Suharto mantan narapidana dalang pembunuh hakim agung RI mendirikan Partai Berkarya setelah percaya diri bahwa propaganda ‘penak jamanku to’ yang dilancarkan kubunya sekian tahun sebelum pemilu sudah berhasil.
Pimpinan dan elit Partai Berkarya juga diduduki langsung oleh keluarga cendana (sebutan lain keluarga besar Suharto) tanpa proses demokrasi, karena kekuatan finansial mereka masih memungkinkan sebuah partai baru dapat bergerak tanpa sokongan dari mayoritas kader partai.
Partai Berkarya sendiri melalui ketua dewan pembina Titik Soeharto (yang juga istri capres Prabowo Subianto) menyatakan tekad akan merebut 80 Kursi DPR RI saat pileg.
Sementara dalam pilpres Partai Berkarya kemudian menjatuhkan dukungan kepada paslon Prabowo-Sandi dengan alasan sebagai anak ideologis Presiden Soeharto dan tentunya faktor Prabowo Subianto adalah suaminya sendiri.
Titiek Soeharto secara tegas menyatakan jika Prabowo memenangkan pilpres mendatang maka dia akan melanjutkan perjuangan ayahnya dengan memberlakukan gaya kepimimpinan serupa. Salah satu program terdahulunya yaitu Orde Baru.
Padahal Orde Baru sendiri banyak meninggalkan kesan yang tidak baik di mata rakyat Indonesia. Lantas, perlukah Orde Baru di bangkitkan kembali saat Prabowo benar – benar terpilih menjadi Presiden RI? Kemungkinan hal ini akan memicu peristiwa pahit di masa lalu terulang kembali di wajah era milenial ini. Seperti yang kita ketahui, sejarah mencatat beberapa dampak negatif yang menyeramkan saat Orde Baru berjalan kala itu.
Berbagai sisi negatif rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun ternyata tak bisa dilupakan begitu saja oleh rakyat Indonesia. Begitu juga generasi milenial yang belum merasakan dan menyaksikan masa pemerintahan orde baru tersebut.
Pada masa orde baru itu, korupsi, kolusi serta nepotisme terjadi secara besar – besaran. Kekayaan dinikmati oleh sebagian saja tanpa ada keleluasaan rakyat lain untuk turut menikmati usaha. Dengan demikian, akhirnya laju perekonomian hanya dipegang oleh segelintir orang saja, sehingga rakyat tidak turut menikmatinya.
Dunia politik Indonesia yang tidak sehat juga turut menjadi dampak negatif dari Orde Baru. Hal ini dibuktikan hanya ada 3 partai saja saat itu dan hanya satu partai sebagai partai yang terus menang, sedangkan partai yang lain dinilai sebagai syarat saja agar negara Indonesia ini masih disebut negara demokrasi.
Penyimpangan selanjutnya adalah berupa tidak adanya kebebasan dalam berpendapat. Rakyat seolah dibungkam dan pemerintah tidak menerima kritik. Hal ini yang pada akhirnya berpengaruh pada oposisi yang diharamkan.
Memori terdalam rakyat Indonesia tentang kenyataan dan sisi negatif orde baru tersebut akhirnya muncul dalam hasil Pilpres 2019. Partai Berkarya gagal mendapatkan suara sesuai ambang batas parliament threshold 4 Persen, sehingga tidak dapat mengirim satu wakil pun ke DPR RI.
Keluarga Soeharto gagal mengulangi kesuksesannya dalam pemilu 1997 saat sebagian besar anak-anak bahkan cucu Suharto tampil menjadi anggota dewan DPR/MPR RI. Namun sejarah membuktikan pemilu 1997 adalah pemilu terburuk dan tercurang dalam sejarah Indonesia yang kemudian memaksa bangsa Indonesia kembali melakukan pemilu dua tahun kemudian tahun 1999.
Memori rakyat tentang kejahatan HAM capres Prabowo Subianto juga tidak lekang digerus zaman, alih-alih mengecilkan selisih perolehan suara dengan pesaingnya Jokowi, Prabowo pada tahun 2019 justru menambah 100 persen selisih perolehan suara sesuai hasil akhir rekapitulasi KPU dari 8juta menjadi 16juta selisih suara.
Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar