Selasa, 30 Agustus 2022

Saatnya Merdeka dari Radikalisme, Indonesia Bukan Negara Toghut

 


Tak dipungkiri, bibit radikalisme tidak sepenuhnya hilang dari Indonesia, meski organisasi radikal sudah dibubarkan dan pimpinannya ditangkap. Begitu juga dengan bibit terorisme, tidak sepenuhnya hilang meski sudah banyak pelaku teror yang ditangkap. Karena itulah, melawan radikalisme dan terorisme merupakan perjuangan panjang, yang harus kita lakukan secara bersama-sama.


Di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini provokasi bisa berasal dari mana-mana. Termasuk provokasi radikalisme, bisa dilakukan kapan saja dan dari mana saja. Semunya dilakukan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Mari kita lihat kondisi saat ini, yang banyak sekali ditemukan ujaran kebencian bertebaran di dunia maya. Begitu mudah antar sesama saling menebar cacian dan kebencian, hanya karena persoalan perbedaan saja. Padahal, perbedaan pada dasarnya merupakan hal yang lumrah di Indonesia.


Indonesia adalah negara dipenuhi dengan keberagaman suku, budaya, bahasa bahkan agama. Hal ini yang seringkali dipersoalkan oleh kelompok radikal dan jaringan teroris. Mereka selalu berdalih hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam, yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Padahal, dalam Islam sendiri tidak pernah mempersoalkan. Bahkan, Islam mengajarkan toleransi, saling mengharga dan menghormati umat beragama.



Pancasila merupakan nilai-nilai yang diambil dari akar adat istiadat dan budaya masyarakat Indonesia. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar dari sila-sila yang ada. Ini artinya, sila pertama tidak menghilangkan campur tangan agama. Tanpa campur tangan Tuhan, Indonesia tidak akan tumbuh seperti sekarang ini. Itulah kenapa kata Ketuhanan Yang Maha Esa dipilih, agar bisa mengakomodir kebutuhan agama-agama yang ada di Indonesia.


Ironisnya, masih saja ada sebagaian orang atau kelompok yang mempersoalkan Pancasila, dan dianggap bagian thogut. Apa dasarnya? Sungguh tidak masuk akal. Anggapan ini tentu keluar dari kelompok radikal dan jaringan teroris, yang masih berusaha ingin mengganti Pancasila dengan khilafah. Padahal, seorang Abu Bakar Baasyir sendiri telah mengklarifikasi pandangannya yang salah selama ini tentang Pancasila. Menurutnya, Pancasila didasarkan pada nilai-nilai tauhid. Karena itulah, pendiri organisasi teroris JI tersebut kini kembali ke NKRI dan mengakui Pancasila sebagai dasarnya.


Dan jika kita telisik lebih dalam lagi, tidak ada satupun nilai-nilai dalam Pancasila yang berusaha untuk menyekutuhan Tuhan. Nilai-nilai Ketuhanan dalam sila pertama, nilai kemanusiaan dalam sila kedua, persatuan dalam sila ketiga, musyawarah untuk mufakat di sila keempat dan keadilan sosial di sila kelima, apakah ada unsur menyekutukan Tuhan? Jawabnya tidak ada. Oleh karena itulah mari kita menjad pribadi yang cerdas, yang tidak mudah terprovokasi informasi yang menyesatkan.


Membekali diri dengan pemahaman agama yang benar perlu dilakukan. Namun, dalam konteks Indonesia, hal itu saja tidak cukup. Perlu juga membali diri dengan pemahamanan kebangsaan, agar kita juga bisa saling mengerti dan memahami keberagaman yang ada di Indonesia. Agar kita tetap bisa hidup saling berdampingan dalam keberagaman. Salam.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar