Minggu, 03 Juni 2018

Suara Pesimistis Usai Jokowi Terima Keluarga Korban Pelanggaran HAM


Langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima para aktivis Aksi Kamisan di Istana Merdeka pada Kamis (31/5) memunculkan satu pertanyaan: seberapa serius pemerintah menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Tanah Air?

Pertanyaan itu muncul soal iktikad Jokowi dalam membicarakan kasus-kasus HAM baru muncul di akhir-akhir periode pemerintahannya. Di luar kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, kasus-kasus terkini juga menunggu penyelesaian.

Salah satu kasus yang banyak menuai sorotan tapi hingga sekarang belum diselesaikan adalah penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan pada 11 April 2017. Kasus ini sempat menjadi sorotan para peserta aksi Kamisan. Pada April lalu para peserta aksi mendesak Jokowi membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel. Namun, desakan yang sudah digemakan jauh sebelumnya oleh para aktivis antikorupsi tak pernah digubris oleh Jokowi. Usaha Komnas HAM memberikan rasa keadilan terhadap Novel juga belum mencapai titik terang.

Padahal, bagi banyak orang kasus Novel bukan perkara kriminal biasa. Meski Novel tidak terbunuh, tapi apa yang dialaminya adalah pelanggaran serius. Apalagi sebelum penyiraman dengan air keras terjadi, penyidik senior KPK itu pernah berkali-kali mengalami intimidasi, mulai dari ancaman pembunuhan sampai aksi tabrak lari.

Maria Catarina Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irawan (mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas dalam tragedi Semanggi I) mengakui tidak ada pembahasan tentang kasus Novel dalam pertemuan dengan Jokowi, Kamis pekan lalu.

Menurutnya tatap muka antara Jokowi dan para pejuang HAM itu lebih difokuskan pada kasus-kasus HAM yang dijanjikan dalam Nawacita seperti: kerusuhan Mei 1998, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, penghilangan paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.

"Kalau (kasus) terkini memang tidak ada. Karena Pak Jokowi, kan, baru menerima berkas dari kami keluarga korban, dan baru menerima masukan," ujarnya kepada Tirto.



Direktur YLBHI Asfinawati mengatakan mandeknya penyelesaian kasus Novel mengindikasikan bahwa kasus-kasus pelanggaran HAM hanya dijadikan alat politik untuk kekuasaan. Padahal tak boleh ada tebang pilih dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM.

"Kasus Novel itu kasus pelanggaran HAM. Kalau ada pemisahan (penanganan kasus) itu namanya tidak paham HAM," ujarnya. Apalagi, kata Asfin, "Kalau tidak salah pasca pertemuan ada pernyataan Jaksa Agung soal sulitnya menyelesaikan kasus masa lalu."

Asfina mengatakan Presiden Jokowi seharusnya berani mengambil sikap tegas untuk menyelesaikan kasus Novel. Kekhawatiran pembentukan TGPF bakal melemahkan peran kepolisian seharusnya bukan menjadi alasan.

"Jadi harus dipisahkan psikologi dengan fakta. Sudah berapa lama kepolisian diberi waktu. Dan semua orang juga tahu, semakin lama bukti semakin hilang. Artinya semakin sulit mengungkap," tuturnya.

Sumber : https://tirto.id/suara-pesimistis-usai-jokowi-terima-keluarga-korban-pelanggaran-ham-cLyM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar