Jumat, 14 September 2018

Syarat Indonesia Mengalami Krisis Ekonomi Ternyata Masih Jauh Dari Kenyataan


Kondisi ekonomi Indonesia yang digembar-gemborkan oposisi akan mengalami krisis ekonomi ditanggapi dingin oleh para ahli ekonomi. Tidak satu pun dari mereka membayangkan Indonesia akan mengalami krisis.

Mantan Menteri Keuangan sekaligus pakar ekonomi nasional memberikan analisa singkat melalui media sosial mengenai kondisi ekonomi saat ini. Lewat akun Twitter resminya, Chatib menilai Indonesia tidak akan kembali ke krisis ekonomi 1998.

“Saya tentu sangat bisa salah. Yang terjadi saat ini sebenarnya adalah kembalinya dunia kepada situasi normal baru (new normal),” jelasnya.

Apa itu situasi new normal? Chatib menguraikan, dalam 10 tahun terakhir, dunia berada dalam keadaan abnormal akibat kebijakan suku bunga rendah The Federal Reserve. Nah, situasi dunia yang normal, lanjutnya, adalah situasi sebelum kebijakan quantitative easing (QE) 2009, di mana Fed Fund rate berada di kisaran 3,5%.

Masalahnya, menguatnya perekonomian AS dan meningkatnya defisit anggaran di AS mendorong Fed untuk melakukan normalisasi. “Akibatnya negara yang current account deficit-nya dibiayai oleh investasi portofolio (utamanya) terkena dampak,” paparnya.

Sementara itu Pengamat ekonomi-politik pada Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengungkapkan bahwa secara umum terdapat istilah economic voting, yakni istilah yang digunakan untuk memilih berdasarkan kebijakan atau hasil ekonomi calon presiden atau calon pemimpin yang dipilih.

Isu ekonomi ini sangat erat kaitannya dengan pendekatan kepada pemilih perempuan, khususnya ibu rumah tangga.

“Risiko krisis di tiap negara pasti ada, namun jika dilihat probabilitas risiko krisis di Indonesia tidak besar” jelas Yose.

Yose menilai selama ini kubu incumbent masih terjebak pada isu mengenai utang dan nilai tukar, padahal isu pertumbuhan ekonomi lebih layak dibahas dalam pertarungan untuk mendapatkan kursi presiden. Ada dua hal yang menurutnya penting, yakni stabilitas harga pangan dan lapangan pekerjaan.

Sementara itu di dunia perbankan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Halim Alamsyah, menyatakan bahwa kondisi perbankan dalam negeri saat ini siap dalam menghadapi gejolak perekonomian dunia. Salah satu tandanya ialah pemberian kredit yang disalurkan perbankan lebih banyak menggunakan Rupiah ketimbang Dolar Amerika Serikat atau USD.



“Perbankan kita relatif setelah krisis (tahun) 1997 dan 1998, apalagi dengan pengetatan aturan prudensial dikatakan bahwa perbankan kita cenderung bermain di dalam negeri sendiri lebih banyak mereka condong memberikan kreditnya itu bahkan ke Rupiah lebih banyak kan. Rata-rata cuma 14 persen pemberian kredit terhadap valas,” ungkap Halim seperti dikutip dari merdeka (12/9).

“Jadi perbankan kita gejolak kurs buat mereka mereka enggak takut karena sumber pendaptannya bukan dari valas. Dan mereka pendapatannya dari kredit dalam Rupiah itu,” terangnya.

Christianto Wibisono, pengamat ekonomi dan Founder Pusat Data Bisnis Indonesia menyatakan nilai tukar rupiah yang terdepresiasi sekarang berbeda jika dibanding tahun 1998. Semasa itu, krisis yang terjadi tidak hanya di sektor ekonomi tapi kompleks dan bersifat multidimensi. “Itu lebih banyak, tidak sama dengan sekarang (2018).” tegasnya

Pengamat ekonomi lainnnya Direktur Eksekutif Economic Action (ECONACT) Indonesia Ronny P Sasmita menyebutkan kondisi perekonomian Indonesia saat ini memang sedang diuji, dari pelemahan rupiah hingga keraguan pasar terhadap iklim investasi di Indonesia. Satu hal yang saat ini patut menjadi perhatian pemerintah saat ini adalah sentimen di pasar keuangan.

Namun Ronny tetap optimis terhadap fundamental ekonomi Indonesia. Kondisi ekonomi Indonesia masih jauh lebih baik dari Venezuela yang mengalami krisis saat ini.


“Banking System kita juga masih sangat bagus. Untungnya fundamental ekonomi secara keseluruhan masih bagus, terutama inflasi yang masih terjaga, sehingga depresiasi tidak langsung terkait dengan inflasi dan daya beli” jelas Ronny.

Lembaga Penjamin Simpanan juga melaporkan bahwa hasil kinerja aset perusahaan per 31 Juli 2018 mencapai Rp 101,3 triliun. Jumlah tersebut didapat berdasarkan komposisi investasi sebesar Rp 90,63 triliun, piutang sebesar Rp 1,64 triliun, kas Rp 7,99 triliun, dan dana lain mencapai Rp 1,04 triliun.

Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan menjelaskan, dari sisi pendapatan, per Januari hingga Juli 2018 mencapai Rp 14,6 triliun. Jumlah itu dari pendapatan premi sebesar Rp 10,8 triliun serta pendapatan investasi sebesar Rp 3,7 triliun.

“Dana LPS di atas Rp100 triliun, tertinggi dalam sejarah kalau dibanding DIC (deposit insurance corporation) negara lain. Kita nomor tiga di Asia, setelah Jepang dan Korea. Ini di Asia,” tutur Fauzi di kantornya, Rabu 12 September 2018.

Atas kinerja tersebut, dikatakannya, juga membuat kepercayaan pasar kredit di Indonesia lebih kuat, sehingga stabilitas sistem keuangan terjaga di tengah gejolak perekonomian global yang memengaruhi keuangan domestik.

“Dulu enggak ada LPS, sekarang ada LPS. Dulu waktu BI tutup 16 bank tahun 1997, itu tidak ada program penjaminan simpanan, masyarakat panik, baru setelah itu ada. Kalau saat itu sudah ada program penjaminan simpanan, penutupan bank itu tidak akan separah itu,” tuturnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar