Kamis, 29 November 2018

Gosip atau fakta, Aksi 212 berbalut politik?


Dewasa ini pertanyaan “gosip atau fakta, aksi 212 berbalut politik?” menjadi banyak pertanyaan di masyarakat. Mengapa? Pasalnya setelah ditelisik gerakan 212 ini seperti memiliki unsur politik dalam pelaksanaannya. Mereka mengatas namakan bela Islam untuk mempengaruhi orang Islam membenci gubernur DKI Jakarta yang pada saat itu di jabat oleh Basuki Tjahja Purnama.

Pertanyaan semacam itu diperkuat lagi oleh pemberitaan bahwa aksi ini akan kembali digelar sebagai ajang reuni parra anggotanya. Reuni? Bukankah gerakan ini sudah dianggap bubar? Inilah yang menjadi sebab masyarakat terus bertanya dan berpikir bahwa gerakan ini benar – benar berbalut dan ditunggangi kepentingan politik. Pelaksanaan reuni jelang pilpres juga turut menjadi alasan mengapa mereka menuding aksi ini sebagai aksi yang berbalut politik.

Menengok masa lalunya, aksi 212 ini  sebenarnya tak perlu digelar untuk membesarkan masalah sehingga sampai melengserkan jabatan Ahok yang saat itu menjadi tersangka penistaan agama. Padahal, kepemimpinan gubernur DKI ini cukup baik dalam kinerja dan sepak terjangnya menangani masalah jakarta . Contoh masalah yang dihadapi Jakarta pada saat itu adalah kemacetan, kinerja PNS dan pegawai pelayanan masyarakat, tempat perjudian dan prostitusi yang merebak dan masih banyak masalah lain seperti banjir . Pada waktu itu, penataan dan penanganan masalah – masalah di atas sudah mulai teratasi dengan mendisiplinkan berbagai aspek. Contohnya penutupan tempat prostitusi, penanganan masalah banjir kiriman, penegasan sanksi terhadap PNS yang terlambat datang atau PNS yang kurang disiplin. Semua itu sedang mulai berjalan dan penataan Jakarta sudah mulai tampak. Sayang sekali, pohon yang sedang bertumbuh subur itu harus dipangkas paksa sebelum ranum buahnya karena kasus penistaan agama Islam yang dilakukan gubernur bermata sipit ini.
Entah benar atau tidak, penudingan terhadap aksi 212 ini berbalut politik. Buktinya, aksi ini sukses melengserkan kepemimpinan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama karena tuntutannya yang mengharuskan gubernur ini harus dihukum. Padahal, menurut beberapa ulama dari NU dan Muhamadiyah, kasus ini tak perlu dibesar – besarkan. Jika Ahok memang tidak paham dengan kesalahaanya tugas seorang muslim adalah menjelaskannya dan meminta Ahok untuk meminta maaf secara terbuka kepada seluruh umat Islam yang merasa dinistakan.
Ada jalur yang perlu ditempuh sebelum proses hukum, yaitu memaafkan, memperingatkan untuk tidak mengulangi lagi dan meluruskan kesalahan. Namun, pelaku aksi ini kekeh untuk memperkarakan kasus ini.
Tapi, siapa sangka jika semangat aksi ini untuk memperkarakan kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok kemudian memunculkan tuduhan bahwa aksi 212 memiliki tujuan politik. Semua itu kembali pada masyarakat yang akan menilai dan menyaksikan benar atau tidaknya. Nyatanya, banyak fakta menuturkan demikian.
Publik tentu terbelah dengan aksi ini. Kelompok yang mendukung tentu saja menganggap hal ini sebagai cara untuk ikut memuliakan Tuhan dan menegakkan aturan versi mereka. Tanpa harus melewati perundingan, hukum harus ditegakkan. Masyarakat yang pro ini juga menilai aksi bela Islam sebagai aksi yang harus dan wajib digelar karen alasan membela agama Allah.
Namun, bagaimana respon dari masyarakat yang kontra dengan aksi ini? mereka yang kontra berkomentar bahwa aksi ini berlebihan. Apalagi, kesan yang ditinggalkan oleh aksi ini dianggap buruk. Dengan aksinya yang terkenal brutal karena sampai membakar kendaraan dan membuat kebisingan serta kemacetan panjang maka mereka menilai aksi ini tidak perlu. Apalagi banyak masyarakat yang mengeluh terganggu dengan aksi ini. Pasalnya, banyak dari mereka yang merasa dirugikan karena harus terlambat datang ke tempat kerja, ke sekolah atau ke tempat lain. Kemacetan total yang disebabkan aksi ini, dinilai oleh mereka sangat mengganggu kenyamanan berlalu lintas. Jadi, mereka yang kontra terus menganggap aksi ini tidak beretika.
Ditambah lagi, gosip aksi ini dibaurkan dengan kepentingan politik. Maka masyarakat yang kontra semakin tidak suka dengan kabar akan digelarnya kembali aksi ini sebagi ajang reuni para anggotanya. Betapa tidak mereka tidak setuju, yang lalu saja meninggalkan kesan buruk dengan tidak memperhatikan lingkungan sekitar demo. Kok ya mau diulangi lagi? Sudah tahu tidak baik, mau diulangi lagi itu kan sama saja keblinger.
Jadi, apa jawaban yang benar mengenai gosip itu? Disinyalir dari aksi – aksinya, timing pelaksanaannya diduga kuat aksi ini memang memiliki kepentingan politik yang kuat. Namun, kepiawaian mereka mengatasnamakan Islam dimana merupakan agama terbesar di negeri ini, maka aksi ini sukses dicap pembela Islam. Padahal, jika benar aksi ini ditumpangi politik, maka tujuan utama membela Isla menjadi semu. Dan semua itu dianggap kamuflase semata untuk merebut simpatik rakyat. Akankah ini menjadi gambaran politik kita di masa depan? (JP)

Sumber : https://hitamputih.co

Tidak ada komentar:

Posting Komentar