Selasa, 08 Januari 2019

Menolak Lupa Pelanggaran HAM Berat Prabowo di Timor Timur

Calon Presiden Prabowo Subianto memiliki catatan buruk semasa karir militernya. Sejarawan asal Belanda yang merupakan profesor di University of Amsterdam, Gerry Van Klinken, membeberkan sebuah laporan tentang terjadinya pembunuhan massal di Timor Timur pada tahun 1983-1984 dalam sebuah operasi militer yang dikaitkan dengan Prabowo. Kala itu Prabowo berpangkat kapten.
Dalam operasi itu, setidaknya 530 orang terbunuh atau hilang, diantaranya perempuan dan anak-anak. Selain itu, sejumlah besar warga Timtim (kini Timor Leste) juga dilaporkan meninggal karena kelaparan di kamp konsentrasi yang dijaga ketat, setelah para tawanan itu selamat dari pembantaian di Gunung Bibileo.
“Sebagaimana semua orang tahu, salah satu kandidat terkuat presiden di Indonesia memiliki satu persoalan citra yang dikaitkan dengan masa-masa karier militernya. Namun, menculik beberapa lusin aktivis mahasiswa pada tahun 1998 bukan masalah HAM paling buruk yang dihadapi Prabowo, walaupun hal itu yang paling diketahui masyarakat,” tulis Klinken.
Menurut Klinken, pada 1983 Prabowo berada di tengah-tengah operasi kontra-pemberontakan di Timor Timur yang telah menyebabkan ratusan orang kehilangan nyawa.
Klinken melanjutkan, peristiwa ini dimulai pada tanggal 16 September 1983 dengan pembantaian puluhan orang, termasuk perempuan dan anak-anak.
Ia mengungkapkan, peristiwa-peristiwa tersebut tak ubahnya seperti drama yang mengerikan. Seorang korban yang selamat menceritakan kepada Komisi Kebenaran dan Timor Timur (CAVR) tentang peristiwa yang tidak berperikemanusiaan itu.
Pada suatu hari, antara pukul 3-4 sore, di gunung Bibileo, Timor Timur. tiga orang hansip menjadi penunjuk jalan bagi para warga Timtim yang menjadi tawanan. Di sekeliling mereka, personil tentara juga ikut.
Berdasarkan laporan CAVR, ada satu kejadian lain yang lebih parah. Pada 17 September 1983, sekitar 26 hingga 181 orang pria dipisahkan dari sekelompok tawanan lain. Lalu mereka dieksekusi dengan senjata mesin di palung sungai Tahubei. CAVR mencatat ada 141 nama yang menjadi korban dan semuanya pria. Tidak dipastikan apakah mereka ini masyarakat sipil atau pasukan pemberontak.
Klinken juga mengutip studi yang dimuat dalam Jurnal yang diterbitkan Universitas Cornell, Indonesia edisi Oktober 2003. Di sana dikutip sebuah laporan yang menyatakan Prabowo tiba di Timor Timur pada 28 Agustus 1983 untuk penugasan ketiga kalinya. Ia membawa bersama Chandraca 8, salah satu unit di Kopassus.
Jill Jolliffe, dalam buku Cover-up: the inside story of Balibo Five (2001) mengutip sorang saksi mata yang mengatakan melihat Prabowo bersama pasukannya menjelajahi gunung Bilibeo pada awal September sebelum pembantaian besar pertama. Dan dicatat pula Prabowo tetap berada di bagian timur Bilibeo sampai awal 1984.
Prabowo bersama pasukannya, memiliki markas di Kota Ossu, yang terletak 20 kilometer sebelah utara Viqueque. Markas itu menjadi tempat Prabowo mengatur pasukannya selama operasi melawan pemberontakan. Joao Caetano, warga Timor Timur yang bekerja untuk jaringan intelijen Indonesia, bercerita kepada Jolliffe bahwa Prabowo sendirilah yang secara langsung memegang komando operasi melawan pemberontak.
Klinken mengakui dalam laporan CAVR yang ditulis secara hati-hati itu tidak banyak nama pejabat Indonesia disebut. Namun, tutur Klinken, orang-orang yang bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut dapat diketahui dari berbagai laporan saksi mata, seperti yang ditulis oleh Jill Jolliffe maupun dalam wawancara panjang dengan Mario Carascalao (mantan gubernur Timor Timur) dalam jurnal Indonesia yang tadi sudah disebut.
“Bahwa Prabowo memainkan peran penting dalam operasi ini tampak jelas,” tulis Klinken. Namun, seberapa besar, tutur Klinken, itu yang belum diketahui pasti. Yang sudah jelas, Prabowo memiliki markas di Ossu dan ia memegang komando di wilayah Timur Timtim, area dimana pertama kali perlawanan masyarakat Timtim bermula.
Di akhir tahun 1983, Prabowo dipromosikan dari kapten menjadi mayor, sebuah pangkat yang cukup tinggi bagi seorang tentara berusia 32 tahun.
Prabowo yang menjadi dalang dalam kasus pembantaian terhadap warga sipil Timor Timur seolah-olah bertindak dan berbicara sebagai orang yang maha benar, padahal capres yang berlumuran darah itu adalah pelanggar HAM berat di Indonesia yang hingga saat ini belum diadili atas tindakan kejinya di masa lampau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar