Selasa, 19 Februari 2019

Prabowo Jadi Capres Plonga-Plongo

Fakta dan Opini Indonesia – Calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, dinilai hampir tidak memiliki ide baru jika dirinya terpilih dalam debat kedua Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Hal itu diungkapkan Analisis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun. Menurutnya, Prabowo hanya memaparkan sedikit saja inovasi kebijakan jika ia memimpin.
“Sedikit saja yang muncul dari Prabowo, yaitu menyelamatkan lingkungan hidup akan dipisah antara menteri kehutanan dan menteri lingkungan hidup,” ujar Ubedilah kepada Kompas.com, Senin (19/2/2019).
Saat debat, Prabowo menilai dua bidang tersebut memiliki fungsi yang berbeda sehingga tidak dapat disatukan seperti sekarang.
“Saya akan pisahkan. Menteri kehutanan kok dijadikan satu dengan lingkungan hidup?” ujar Prabowo. Menurut Prabowo, kementerian bidang lingkungan hidup seharusnya mengawasi kementerian kehutanan. Dengan demikian, pengawasan terkait pelanggaran izin di bidang kehutanan dapat diawasi dengan ketat
Ide baru Prabowo lainnya, lanjut Ubedilah, adalah dirinya yang akan membuat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang khusus menangani perikanan dan kelautan. Dia menjelaskan, ide-ide yang disampaikan Prabowo masih terlalu sedikit, padahal dalam debat tadi malam ia memiliki sisa waktu yang cukup untuk menyampaikan gagasanya.
“Prabowo tampak terlalu santai dan kurang memanfaatkan waktu dengan baik. Bahkan ada dua kali kesempatan untuk Prabowo yang tidak dimanfaatkan waktunya dengan baik tetapi mengatakan cukup,” ungkapnya kemudian. Di sisi lain, seperti diungkapkan Ubedilah, Prabowo juga memiliki kelemahan dalam debat kedua dengan tidak menghadirkan pertanyaan yang tajam terkait energi, pangan, sumber daya alam (SDA), infrastruktur, dan lingkungan hidup.
Sejak resmi maju pada Pilpres, pasangan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno selalu menekankan fokus kampanye pada isu ekonomi; menilai Presiden Joko Widodo gagal menjaga stabilitas harga pangan dan gagal mengerek pertumbuhan ekonomi lebih dari lima persen.
Setengah jam jelang acara debat, Prabowo melenggang ke dalam arena. “Siaplah,” ucapnya. “Saya kira [saya] nanti bicara ekonomi dan pangan.”
Maka, membawa jurus ekonomi andalannya, Prabowo mestinya mampu melayangkan jeb berkali-kali, yang seharusnya membuat Jokowi kewalahan. Tetapi, yang kita lihat berbeda. Kita mendapatkan paradoks Prabowo.
Prabowo Bicara tanpa Angka
Bagi Prabowo, yang penting adalah retorika dan bukan angka dan data saat mendebat lawan bicaranya. Seorang capres dua kali dan cawapres sekali yang sering gembor-gembor soal isu ekonomi, ia malah jarang sekali memberi konteks dalam debat kedua melawan Presiden Jokowi.
Dari 2.789 kata yang keluar dari mulut Prabowo, ia hanya menyebut angka dalam 20 kali. Jumlah ini amat timpang dibandingkan Jokowi yang menyebut angka sebanyak 98 kali.
Disingsetkan lagi, angka-angka yang disebut Prabowo hanya sampiran, bukan inti dari yang ia sampaikan. Sementara Jokowi bicara “perlunya petani dikenalkan pada yang namanya marketplace […] membangun ekosistem offline dan ekosistem online”, untuk menjawab sesi pertanyaan mengenai problem skala kecil perikanan dan peternakan menghadapi revolusi industri 4.0; Prabowo menanggapinya dengan bicara seperti ini:
“… dahsyatnya perkembangan 4.0 … akan berdampak suatu yang punya biasanya pabrik mobil di Jerman yang punya 15.000 pekerja bisa diganti sekarang dengan robot-robot yang hanya membutuhkan kurang dari 50 orang bekerja, … tapi inti yang saya ingin sampaikan adalah kita bicara industri 4.0 sekarang masih belum bisa membela petani kita sendiri.”
Atau, ia bicara apa yang disebut “disparitas”–alias kesenjangan ekonomi–dengan menggambarkan “segelintir orang, kurang dari 1 persen, menguasai lebih dari setengah kekayaan kita. Jadi kalau ada unicorn-unicorn, ada teknologi hebat, saya khawatir ini nanti lebih mempercepat nilai tambah dan uang-uang kita lari ke luar negeri. … Silahkan Anda tertawa, tapi ini masalah bangsa.”
Lalu ia melanjutkan:
“Kekayaan Indonesia tidak tinggal di Indonesia, menteri bapak sendiri mengatakan ada 11.400 triliun uang Indonesia di luar negeri. Di seluruh bank di Indonesia, uangnya hanya 5.465 triliun.”
Berbeda dengan Prabowo, status petahana memudahkan Jokowi menyampaikan gagasan disertai statistik, data, dan angka yang konkret.
Misalnya, saat menyebut gelontoran bantuan untuk desa, Jokowi menyebut “187 triliun dana desa” yang berkaitan dengan bidang infrastruktur dalam tiga tahun, pembangunan “191 ribu kilometer jalan” produksi yang disebutnya “sangat bermanfaat bagi para petani”, “58 ribu unit irigasi” dari dana desa, produksi “3,3 juta ton jagung”, serta pembangunan “49 waduk”.
Paradoks Prabowo Dipukul Balik oleh Jokowi
Ada satu pesan yang selalu diulangi Prabowo saat tampil dalam debat. Pesan itu: “Kekayaan yang dilarikan ke luar negeri”. Ia mengangkut pesan ini dalam tiga kali pada segmen terpisah: pembacaan visi misi, segmen debat, dan pidato penutupan.
Pesan serupa ia ucapkan juga pada debat perdana, serta pada “pidato kebangsaan” di Jakarta dan Semarang jelang debat pertama dan kedua.
Dalam debat kemarin, narasi ketakutan ini ia paparkan lebih panjang saat segmen debat terbuka dengan Jokowi.
Kata Prabowo: “Kekayaan Indonesia tidak tinggal di Indonesia, menteri bapak sendiri mengatakan ada 11.400 triliun uang Indonesia di luar negeri. Di seluruh bank di Indonesia, uangnya hanya 5.465 triliun. Berarti lebih banyak uang kita di luar daripada di Indonesia.”
Pesan itu ibarat menepuk air di dulang memercik muka sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar