Kamis, 25 Juli 2019

Memapah Arah Program Vokasi Jokowi

Meningkatkan kompetensi SDM lewat program vokasi (Foto: dok. KIBIF)

Jakarta - Presiden Jokowi memaparkan lima visi sebagai arah kebijakannya untuk periode kedua pemerintahannya. Hal itu disampaikan bersama Wakil Presiden Maruf Amin dalam acara bertajuk Visi Indonesia 2019-2024 di Sentul, Bogor (14/7). Selain melanjutkan pembangunan infrastruktur, pemerintahan Jokowi hendak menggencarkan pembangunan sumber daya manusia (SDM).

Formula pembangunan SDM yang hendak ditempuh Jokowi adalah dengan menggencarkan vokasi alias pendidikan keterampilan. Pendidikan vokasi berfokus pada keahlian teknis dan bertujuan untuk memperkaya kompetensi angkatan kerja. Untuk mencapainya, pemerintah telah mengembangkan pendidikan vokasional mulai Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), politeknik, hingga balai pelatihan.

Laksana pisau bermata dua, pendidikan vokasi berpotensi untuk menambah keterserapan angkatan kerja, namun di lain sisi berimplikasi pada kedangkalan hakikat pembelajaran. Pendidikan akan tunduk terhadap tuntutan dan kebutuhan pasar. Ideologi pendidikan yang sejatinya lebih mementingkan nilai-nilai etis dan humanistis, menjadi bergeser pada ideologi picisan pasar yang bertumpu pada nilai-nilai pragmatis dan materialistis.

Oleh Frank Furedi (2006), fenomena itu disebut sebagai the cult of philistinism, yakni penghambaan terhadap budaya kedangkalan dan pemujaan berlebihan terhadap keterampilan terapan. Kegiatan pembelajaran mengalami kelesuan gairah intelektual karena tergerus oleh instrumentalisme material praktis.

Ekses dari pragmatisme pendidikan adalah marjinalisasi konten pelajaran yang dianggap tidak bersangkut-paut dengan keterampilan praksis. Hal ihwal literasi dan kajian kesusastraan acap dinafikan, dianggap tidak membumi dan "elitis". Alhasil, mengacu hasil riset dalam lima tahun terakhir, daya literasi anak-anak Indonesia mengalami kemerosotan signifikan.

Survei mengenai kemampuan literasi yang dilakukan Central Connecticut State University pada 2016 menempatkan Indonesia di posisi buncit, yaitu urutan ke-60 dari 61 negara. Sementara itu, merujuk riset PISA yang dilakukan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2015, kemampuan membaca anak Indonesia berusia 15 tahun di bawah rata-rata 72 negara lainnya, dengan skor 397. Hasil tes tersebut menunjukkan bahwa kemampuan memahami dan keterampilan menggunakan bahan-bahan bacaan, khususnya teks dokumen, pada anak-anak Indonesia usia 9 sampai 14 tahun masih tergolong rendah.

Rendahnya minat baca dan dekadensi literasi berpengaruh terhadap posisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia, yang diukur dari usia harapan hidup, pertumbuhan ekonomi, dan kualitas pendidikan. Seturut penelitian United Nations Development Program (UNDP), IPM Indonesia pada 2017 berada di peringkat 116 dari 189 negara. Posisi Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara lainnya.

Aspek Lain

Implementasi pendidikan vokasional seyogianya tidak menihilkan urgensi aspek lain, seperti kesusastraan dan juga literasi. Pasalnya, kesusastraan merupakan fundamen dalam merevolusi mental dan membangun kualitas SDM sebagaimana acap didengungkan Presiden Jokowi.

Cerita-cerita dalam karya sastra maupun tokoh-tokoh fiksi memiliki daya magis dalam mengubah standar moral masyarakat, mempengaruhi gaya hidup, mengobarkan revolusi, bahkan menstimulan perubahan dunia. Kisah Rosie the Riveter yang melukiskan seorang pekerja pabrik kerah biru, misalnya, dapat menjadi penggelora bagi merebaknya Women's Liberation Movement. Kisah Barbie, boneka solek nan molek yang menjadi model idaman jutaan gadis cilik di antero dunia, memberikan standardisasi gaya dan kecantikan. Kisah Siegfried, ksatria pahlawan legendaris dari nasionalisme Teutonik, bertanggung jawab mengantarkan Jerman pada ironi dua Perang Dunia (Lazar, 2006).

Manga Kapten Tsubasa dapat merombak mindset masyarakat Jepang yang tadinya awam terhadap sepak bola menjadi begitu mafhum bahkan lihai menyepak "si kulit bundar". Dua dekade semenjak manga Kapten Tsubasadiserialkan dalam anime (1983), publik Jepang menjadi kian menggandrungi sepak bola. Alhasil, timnas putra Jepang berhasil menjadi raja di Asia pada 2000, 2004, dan 2011. Timnas putri Jepang juga turut mengguncang dunia dengan menjadi juara Piala Dunia Wanita 2011.

Menyadari urgensi sastra dan literasi sebagai penopang pembangunan manusia, diksi-diksi puitis William Shakespeare menjadi bacaan wajib sejak sekolah dasar dalam rangka menanamkan tradisi etik dan kebudayaan masyarakat di Inggris. Sementara di Swedia, aneka spanduk berisi kutipan karya-karya sastra marak dibentangkan untuk menyambut hari raya. Di Prancis, sastrawan-sastrawan agung menghuni pantheon dan jejak singgahnya semasa hidup diberi tanda-tanda khusus sebagai wujud penghargaan dan "pemujaan".

Literasi

Kita semua dapat belajar dari kegagalan Korea Selatan dalam mengimplementasikan pendidikan vokasi yang parsial. David Newhouse dan Daniel Suryadarma dalam The Value of Vocational Education: High School Type and Labor Market Outcomes in Indonesia (2011) menyebut upaya pemerintah Korea Selatan untuk mendorong pelajar melanjutkan pendidikan di sekolah vokasi tidak membawa kemajuan signifikan. Bahkan menurut laporan Bank Dunia, jumlah lulusan sekolah vokasi di Korea yang memasuki pasar tenaga kerja malah anjlok dari 76,6 persen (1990) menjadi 20,2 persen (2007).

Dengan demikian menjadi kian gamblang bahwa untuk merevolusi mental dan membangun SDM, pendidikan vokasi tidak bisa berdiri sendiri. Pendidikan keterampilan harus ditopang dengan intelektual. Pembangunan raga mesti ditunjang dengan peluhuran jiwa. Pendidikan vokasi mesti dipapah dengan penggencaran literasi. Pemerintah tidak boleh terperosok dalam jurang pragmatisme pendidikan yang menyilaukan.
Ardian Nur Rizki pengajar di Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) Johor Baru, Malaysia
(mmu/mmu)
Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar