Rabu, 21 Agustus 2019

Fakta Australia Jual Senjata ke Separatis Papua


Beberapa hari ini, bagi yang getol berselancar di sosial media, pasti tak ketinggalan dengan kehebohan sebuah video yang isinya menyindir pemerintah Australia dan Indonesia perihal ‘kemerdekaan’ Papua Barat. Sang pembuat konten video, The Juice Media, sebuah media satir politik sosial kontemporer yang berbasis di Melbourne, Australia, berhasil memicu keramaian. Berbagai respons pun bermunculan, sampai ada yang terlibat debat.
Pada Rabu, 21 November 2018 pekan kemarin, The Juice Media mengunggah konten video bertajuk ‘Visit West Papua’ di channel YouTube dan akun Twitter resminya @thejuicemedia. Jika dilihat sekilas, video ini benar-benar memenuhi kriteria sebuah tampilan video iklan resmi pemerintah soal promosi pariwisata. Tapi nyatanya? Isi video malah memilukan dan banyak kenyataan pahit.
Dalam video berdurasi 2:39 menit itu, hanya kalimat pembuka awal saja yang menampakkan sisi promosi pariwisata, selebihnya adalah kalimat-kalimat menohok dan menyedihkan. Kenapa menyedihkan? Nyaris semua pernyataan dalam video itu adalah fakta sejarah bagaimana seisi Papua ‘dikeruk’ di masa lalu. Sayangnya, sedikit yang menyadari hal itu.
Perusahaan Tambang Inggris-Australia ‘Keruk’ Kekayaan Papua
Misalnya saja kita simak paragraf-paragraf awal dari video tersebut yang mengungkapkan soal betapa indahnya Papua dengan keberadaan hutan hujan dan pulau-pulau yang cantik. Termasuk pusat tambang emas dan tembaga yang jadi incaran negara-negara seperti Australia.
“Kunjungilah Papua Barat. Tambang tembaga terfavorit di Indonesia, maksud saya jajahan, maksud saya wilayah. Pusatnya pulau-pulau yang cantik, hutan hujan yang belum dijamah, penduduk asli yang sangat ramah, Kota Fak-Fak yang megah.”
“Tapi, yang terpenting, tambang tembaga dan emas terbesar di dunia. Itulah mengapa di sini di pemerintahan Australia, kita sudah melakukan semua yang kita bisa untuk membantu ‘teman’ mengusir penduduk asli dari tanah mereka, supaya ‘teman’ kita yang lain bisa datang dan mulai mengeruk keuntungan dari Papua.”
“Karena yang bisa menjajah sebuah pulau, merampok kekayaan alamnya, dan menyisakan sisa-sisanya untuk penduduk asli, kami orangnya (Australia)!”
Sindiran soal siapa pihak yang mengeruk dan merampok kekayaan alam Papua di situ tampaknya merujuk pada kiprah perusahaan tambang asal Inggris yang juga bermarkas di Melbourne, Australia yakni Rio Tinto. Meski nama Rio Tinto jarang terdengar, namun belakangan, nama raksasa tambang tersebut hampir selalu muncul dalam negosiasi berkaitan dengan proses divestasi PT Freeport Indonesia.
Yang jadi pertanyaan, mengapa Rio Tinto tiba-tiba muncul yang akhirnya ikut terlibat dalam kesepakatan dengan PT Freeport Indonesia dengan membeli lewat hak partisipasinya?
Pada Mei 1995, Freeport McMoran, Freeport Indonesia, dan Rio Tinto mencapai kata sepakat untuk membentuk usaha bersama (joint venture). Dalam kerjasama itu, Rio Tinto setuju mendanai biaya eksplorasi Freeport Indonesia senilai kurang dari US$ 75 juta. Hingga 2017, total investasi yang telah dikucurkan Rio Tinto mencapai US$ 166 juta.
Setelah dana tersebut cair, pada 11 Oktober 1996, Rio Tinto dan Freeport McMoran selaku induk dari Freeport Indonesia menandatangani participation agreement. Untuk nilai investasi itu, Rio Tinto kemudian mendapat hak partisipasi sebesar 40%.
Intinya, dalam perjanjian itu disebutkan bahwa hak atas hasil produksi dan kewajiban atas biaya operasi PT Freeport Indonesia sebesar 40% sampai dengan tahun 2022 akan diberikan. Syaratnya, kondisi produksi di atas level atau ambang yang sudah disepakati bersama.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa sebagai timbal balik, Rio Tinto berhak menerima pendapatan hasil produksi tambang sebesar 40%. Inilah yang kemudian dimaksud dengan participating interest yang dimiliki Rio Tinto di Freeport. Namun, pembagian itu tentu tak menguntungkan Indonesia, justru membuat Rio Tinto berjaya.
Misalnya saja di PT Freeport Indonesia, ada dua istilah penting yang penjelasannya terkait pembagian hasil produksi ke pihak-pihak tersebut. Kedua istilah tersebut namanya adalah Equity Interest dan Economic Interest.
Dalam equity interest, pembagian hasil produksinya memiliki komposisi sebagai berikut:
a. 9,36% milik pemerintah Indonesia
b. b. 90,64% milik Freeport McMoran (induk dari PTFI, di dalamnya termasuk saham Indocopper Investama yang sudah dibeli oleh Freeport)
Lalu, beda lagi dalam perhitungan di economic interest. Lantaran ada perjanjian antara Freeport dan Rio Tinto seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa setiap produksi yang dihasilkan maka otomatis harus dipotong terlebih dulu sebesar 40% untuk Rio Tinto.
Pembagian itu pun menghasilkan komposisi sebagai berikut:
a. Rio Tinto sebesar 40%
b. Sementara sisanya sebesar 60% dibagi untuk PTFI dan Pemerintah Indonesia. Jadi yang perlu diketahui bahwa porsi sebesar 9,36% milik Indonesia itu sebenarnya adalah 9,36% dari 60% hasil produksi. Berapa persen yang didapat Indonesia?
Komposisi akhir dalam economic interest pun menjadi sebagai berikut:
a. Rio Tinto 40%PT Freeport Indonesia 54,6%
b. Pemerintah Indonesia 5,4%
Tak hanya itu saja, di sisi lain, PT Freeport Indonesia ini juga membuat perjanjian di mana hak partisipasi Rio Tinto sebesar 40% itu nantinya setelah 2022 akan dikonversikan menjadi saham. Hal itulah yang akhirnya membuat hubungan Freeport, Rio Tinto, dan Pemerintah Indonesia menjadi semakin rumit.
Jadi, dalam kerumitan ini, posisi Rio Tinto tentu cukup strategis dan diuntungkan, terutama soal kepemilijkan 40% partisipasi di Freeport tersebut. Wajar jika akhirnya The Juice Media menyebut pemerintah Australia ikut bermain dalam proyek ‘pengerukan’ tambang terbesar yang menjadi kekayaan Papua tersebut.
Indonesia Jajah Wilayahnya Sendiri?
Dalam kalimat-kalimat lanjutan di video satir tersebut, kelanjutannya masih soal bagaimana peran Australia saat ikut campur dengan urusan Indonesia, khususnya di Papua Barat. Negeri Kangguru itu terus berusaha memberi pengaruhnya di sana, bahkan dalam urusan kemerdekaan Papua Barat.
“Papua Barat, wilayah jajahan Belanda hingga 1961, ketika rakyatnya mengibarkan bendera Bintang Kejora, hanya untuk kembali dijajah oleh Indonesia di tahun berikutnya. Seluruh dunia mengecam. Tidak deh, bercanda! Enggak ada satupun yang peduli dan PBB mengesahkan Act of Free Choice (Penentuan Pendapat Rakyat).”
“Pemilu palsu yang dilakukan di bawah todongan senjata ke kepala ‘memberi suara’ untuk menjadi bagian dari Indonesia, Australia juga berperan membantu saat itu.”
“Ingatkah saat dua warga Papua mencoba melarikan diri ke PBB untuk membongkar omong kosong ini? (Act of No Choice). Kami mencegah sebelum mereka sampai sana, dengan cara menahan mereka di Pulau Manus.”
“Pulau Manus, di mana kami masih mengkhianati pengungsi hingga sekarang. Hingga kini, Australia dengan bangga meneruskan tradisi ikut campur di Papua Barat.”
Dalam hal ini, The Juice Media terlihat berusaha menyentil Indonesia dengan kalimat satir yang menyebut Indonesia berusaha menjajah Papua Barat kala itu. Padahal, perlu diluruskan bahwa Indonesia bukan menjajah, tapi justru berusaha membawa Papua Barat kembali ke pangkuan ibu pertiwi dan berada dalam NKRI, terutama lewat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).
Perlu diketahui Pepera merupakan proses referendum yang diadakan pada tahun 1969 di Papua Barat. Pepera digelar untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara milik Belanda atau Indonesia. Dalam proses pemilihan suara, hal yang ditanyakan apakah sisa populasi mau bergabung dengan Republik Indonesia atau memilih merdeka?
Memang, pelaksanaan Pepera itu turut disaksikan oleh utusan PBB, utusan Australia dan utusan Belanda. Ternyata hasil Pepera menunjukkan bahwa para wakil yang dipilih dari populasi dengan suara bulat memilih bergabung dengan NKRI dan hasilnya diterima oleh PBB, meskipun validitas suara telah ditantang dalam retrospeksi. Lalu, hasil Pepera itu dibawa ke sidang umum PBB dan pada tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB menerima dan menyetujui hasil Pepera.
The Juice Media menyoroti soal “Pemilu palsu yang dilakukan di bawah todongan senjata ke kepala ‘memberi suara’ untuk menjadi bagian dari Indonesia”. Hal itu memang merujuk pada para peserta Pepera yang dipilih dan memilih (oleh) Indonesia sendiri, sehingga tentu dianggap palsu. Terlebih, para peserta juga diteror dan diintimidasi dalam pelaksanaan Pepera tersebut.
Australia Cegah Dua Orang Pro Kemerdekaan Papua Barat Pergi ke PBB
Lalu siapa dua sosok warga Papua yang dimaksud? Dalam konteks ini, Australia ditampilkan begitu jemawa karena ‘merasa’ membantu Indonesia mencegah dua orang pemimpin pro kemerdekaan Papua Barat yakni Clemens Runawery dan Wilhelm Zongganao untuk pergi ke markas PBB.
Pada tahun 1969, atas permintaan Indonesia, para pejabat Australia menghentikan langkah Runawery dan Zongganao yang hendak pergi ke PBB. Peristiwa ini terjadi beberapa minggu sebelum Act of Free Choice (Pepera) berlangsung. Dua pemimpin politik dari Papua Barat itu dikirim ke New York dari Jayapura, dengan membawa kesaksian dari para pemimpin Papua Barat untuk menyerukan kemerdekaan. Mereka juga membawa serta petisi permohonan kepada Sekretaris Jenderal PBB untuk menghentikan suara yang diawasi PBB pada status politik New Guinea Belanda.
Dalam perjalanan ke Amerika Serikat, ketika tiba di wilayah administrasi New Guinea yang dikelola oleh Australia, langkah Runawery dan Zongganao dihentikan, lalu diberondong pertanyaan oleh petugas Australian Security Intelligence Organisation (ASIO) dan kemudian ditahan di Pulau Manus. Hal itulah yang membuat suara keduanya tak sampai, apalagi didengar oleh PBB di New York.
Dalam hal ini, The Juice Media seolah ingin menampakkan dengan jelas aksi dan ‘prestasi’ Australia dalam mencegah dua orang pimpinan pro kemerdekaan Papua Barat menemui PBB dalam rangka meminta dukungan internasional untuk merdeka. Padahal, meski aksi pencegahan itu terjadi, fakta lain justru berbicara berbeda, di mana Australia memang sudah sejak lama diketahui mendukung gerakan separatis di Papua.
Peran Australia dalam gerakan separatis di Papua adalah dengan menjual senjata kepada gerakan separatisme, berkoalisi dengan negara lain dan mendesak dilakukannya penentuan nasib sendiri masyarakat Papua. Tak hanya itu saja, Australia juga memberikan suaka kepada masyarakat Papua di Australia, mengadakan pelatihan dan seminar terhadap warga Papua, hingga membuat framing pemberitaan yang menyebut Indonesia telah melakukan pelanggaran HAM di Papua.
Ya, lagi-lagi hal itu hanya satir seolah-oleh ingin menegaskan bahwa: “Australia itu enggak cuma ngeruk tambang Papua saja lho, agar imbang, Australia juga membantu Indonesia mencegah Papua Barat pisah dari NKRI.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar