Sabtu, 10 Agustus 2019

Hati-Hati Provokasi Upaya Penggagalan Pelantikan Jokowi


JAKARTA – Kelompok radikal masih terus menggoyang hasil Pilpres 2019. Pelantikan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024 pun berupaya digagalkan dengan narasi negatif.
Dalam sebuah tulisan, Jokowi dinyatakan tidak bisa dilantik karena berhadapan dengan UUD 1945. Tulisan ini menekankan pada persoalan kebangsaan dalam ketatanegaraan. Bagaimana memperjuangkan kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 yang asli itu lah momentum yang harus didorong.
Pasal 6A ayat (3) UUD 1945 berbunyi:
(i) Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum; dan
(ii) dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Di atas adalah amandamen UUD 1945 pasal tentang pemilihan presiden/wakil presiden. Melihat butir 2, secara implisit dapat dikatakan Jokowi belum bisa dinyatakan pemenang karena tidak suara terbanyak 17 propinsi, dan ada beberapa propinsi perolehan suara kurang dari 20%.
Ada yang berpendapat dan sudah diputuskan oleh MK melalui gugatan seseorang, bahwa butir dua pasal 6A ayat 3 tidak berlaku jika paslon cuma dua. Kalau betul MK telah memutus sesuai paragraf di atas, keputusan MK sah, tanpa merubah isi dan norma dari pasal-pasal tersebut? Kalau sah berarti kedudukan MK di atas UUD 1945. Sedang yang berhak mengamandemen UUD 1945 adalah MPR.
Pendapat tersebut masih sumir. Sebab jika melihat secara utuh bunyi Pasal 416 UU Pemilu itu, tidak diatur khusus jika pilpres hanya diikuti dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Karena itu, pengaturan tersebut dilengkapi/ditutupi melalui Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No.5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
Nampaknya, aturan ini bersumber dari Putusan MK No. 50/PUU-XII/2014 tertanggal 3 Juli 2014 yang menyatakan Pasal 159 ayat (1) UU No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) inkonstitusional bersyarat sepanjang pilpres hanya diikuti dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Artinya, jika hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak seperti dimaksud Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 tidak perlu dilakukan pemilihan kedua (putaran kedua).
Karena itu, saat pelaksanaan Pilpres 2014 yang hanya diikuti dua pasangan calon (Prabowo-Hatta Rajasa dan Jokowi-Jusuf Kalla) dipastikan bakal berlangsung satu putaran dengan mekanisme suara terbanyak atau 50 persen plus 1 suara. Dan syarat persentase persebaran suara telah dinyatakan tidak berlaku.
Secara kebetulan, rumusan bunyi Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres itu hampir sama dengan bunyi Pasal 416 ayat (1) UU Pemilihan Umum. Dan, keberadaan UU Pilpres sudah dinyatakan tidak berlaku atau dicabut sejak berlakunya UU Pemilu. Persoalannya, apakah Putusan MK No. 50/PUU-XII/2014 masih berlaku lantaran keberadaan UU Pilpres sudah dinyatakan tidak berlaku seperti disebutkan Pasal 571 UU Pemilu?
Menanggapi hal ini, Juru Bicara MK I Dewa Gede Palguna enggan berkomentar banyak karena Pilpres 2019 potensi bersengketa di MK. Hanya saja, dia mengatakan sepanjang norma yang sama belum pernah diubah oleh putusan MK lain, maka Putusan MK No. 50/PUU-XII/2014 tetap berlaku sebagai pedoman. “Tetapi yang jelas, Putusan MK yang telah diputus dan belum ada perubahan oleh MK, maka putusan tersebut tetap berlaku,” kata Palguna kepada Hukumonline, Selasa (23/4/2019).
Senada, Mantan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menilai Putusan MK No. 50/PUU-XII/2014 tersebut masih tetap berlaku. Ia mengingatkan putusan tersebut, MK tidak membatalkan bunyi Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres, tetapi hanya memberi tafsir norma jika hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak disebut sebagai pemenang pilpres seperti dimaksud Pasal 6A ayat (4) UUD 1945, sehigga tidak perlu dilakukan pemilihan kedua (putaran kedua).
“Bunyi Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu kan sama dengan Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres sebelumnya. Jadi, bunyi norma Pasal 159 ayat (1) UU Pilpres juga berlaku bagi Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu yang mengatur Pilpres 2019,” kata Hamdan saat dihubungi. Baca Juga: MK Putuskan Pilpres Satu Putaran
Sebelumnya, Direktur Riset dan Inovasi Pusat Studi Hukum Kebijakan Indonesia (PSHK) Rizky Argama berpendapat jika pilpres diikuti dua pasangan capres-cawapres yang berkonstestasi mesti merujuk Putusan MK No. No.50/PUU-XII/2014. Namun, dia mengakui materi muatan putusan MK itu tidak masuk dalam Pasal 416 ayat (1) UU Pemilu, tetapi dimasukan dalam Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih dalam Pemilihan Umum.
Pasal 3 ayat (7) Peraturan KPU No. 5 Tahun 2019 menyebutkan, “Dalam hal hanya terdapat 2 (dua) Pasangan Calon dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, KPU menetapkan Pasangan Calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai Pasangan Calon terpilih”. “Secara gramatikal jelas mudah dipahami, ketika Pilpres 2019 ini hanya diikuti dua paslon, yang berlaku perolehan suara terbanyak,” kata Rizky Argama, Senin (22/4/2019) kemarin.
Dengan begitu, menurut Gama aturan main penetapan pemenang Pilpres 2019 yang hanya diikuti dua pasangan capres-cawapres mesti merujuk Putusan MK No. 50/PUU-XII/2014 yang keberlakuannya setara dengan undang-undang (UU). Dia berharap aturan penetapan pemenang Pilpres 2019 yang hanya diikuti dua pasangan capres cawapres tidak perlu lagi diperdebatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar