Kamis, 05 September 2019

HTI Adalah Gerakan Radikal dengan Tujuan Mendirikan Negara Islam


Pasca reformasi demokrasi telah menjadi lahan subur tumbuhnya kelompok Islam radikal. Fenomena radikalisme di kalangan umat Islam seringkali disandarkan dengan paham keagamaan, sekalipun pencetus radikalisme bisa lahir dari berbagai sumbu, seperti ekonomi, politik, sosial dan sebagainya.
Dalam konstelasi politik di Indonesia, masalah radikalisme Islam telah makin membesar karena pendukungnya juga semakin meningkat. Akan tetapi, gerakan-gerakan radikal ini kadang berbeda pandangan serta tujuan, sehingga tidak memiliki pola yang seragam.
Mulai dari gerakan moral ideologi seperti Majelis Mujahidin Indonesai (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia serta yang mengarah pada gaya militer seperti Laskar Jihad, Front Pembela Islam, dan Front Pemuda Islam Surakarta.
Meskipun demikian, ada perbedaan dikalangan mereka, ada yang kecenderungan umum dari masyarakat untuk mengaitkan gerakan-gerakan ini dengan gerakan radikalisme Islam di luar negeri.
Hari ini gerakan transnasional bersinggungan dengan ideologi negara, sehingga pemerintah perlu membatasi gerakan mereka. Karena Pancasila adalah aturan main, atau darul ahdi wasahada.
Mantan Aktivis Jama’ah Islamiyah Nasir Abbas, mengatakan gerakan radikalisme membagi dua negara; negara islam dan negara kafir.
Indonesia dianggap darussalam atau negara Islam bukan negara kafir.
“Negara islam atau daulah islam atau iqomamuddin, menegakkan syariat Islam menjadi tujuan radikalisme Islam. Selama tidak menjalankan negara islam dianggap kafir atau darul kuffar, thoghut atau darul had.”
“Benar HTI tidak bersenjata dan tidak mengirim orang pada negara konflik, tapi HTI punya slogan menegakkan khilafah. Sebelum menegakkan khilafah harus ada daulah, sama dengan gerakan politik yaitu ingin membentuk negara Islam,” kata Nasir Abbas.
Nasir Abbas juga mengatakan bahwa gerakan penegakan negara Islam adalah radikalisme karena dilakukan dengan cara kekerasan bahkan harus melawan Pemerintah yang berdaulat dan negara Islam tidak diperlukan jika agama Islam diterapkan secara substantif sehingga yang terpenting adalah bagaimana Islam dapat berkembang dengan baik seperti di Indonesia meskipun berdasarkan Pancasila sebagai dasar negara yang bersifat final.
Karena bersifat final maka Pancasila harus diterapkan secara benar sebagai identitas bangsa dan untuk membatasi ruang gerak ancaman yang ingin mengganti ideologi Pancasila.
Hal ini menurutnya yang membuat pemerintah terganggu karena negara Indonesaia adalah negara Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Nasir kemudian bercerita, dahulu Ustad Abu Bakar Ba’asyir adalah NII dan saya adalah NII yang direkrut secara transnasional. Katanya ia dan bapaknya adalah warga negara Malaysia diajak bergabung ke NII.
Menurutnya ada dua pendapat ulama yang mewajibkan tegaknya negara Islam dan ada yang tidak wajib. NII dalam strateginya bukan hanya dengan kekuatan militer, akan tetapi pendekatan personal atau pembinaan teritori. Dimana masyarakat diajak membandingkan antara NKRI dan Islam.
“Ustad Abu Bakar Baasyir membentuk kelompok baru dengan nama Jamaah Islamiyah dengan mantiki-mantiki atau wilayah terbagi dalam beberapa negara. Jamaah Islamiyah fokus di Indonesia dan tujuannya menegakkan negara Islam,” kata Nasir.
Gerakan ini kata Nasir oleh negara disebut Radikalisme , karena NII dan JI menegakkan sebuah paham dengan jalur kekerasan, bahkan harus melawan pemerintah yang ada, kalau tidak minimal menguasai sebuah wilayah untuk ditegakkan negara Islam.
Terakhir kata Nasir Abbas, penerapan agama Islam secara substantif sangatlah lebih penting. Tidak perlu negara Islam, yang paling penting bagaimana Islam bisa berkembang dengan baik seperti di Indonesia meskipun berdasarkan pancasila.
“Dasar negara kita sudah final, dasarnya Pancasila dan sebagai pilar negara, bersama NKRI, UUD 1945 dan Bhineka Tunggal Ika,” tegas Nasir Abbas.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar