Minggu, 08 Desember 2019

Pasca Dibubarkan, Pakar Intelijen Sebut Pergerakan HTI Makin Masif


Pasca pembubaran pencabutan legalitas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai organisasi di 2017, pergerakan HTI diduga kini semakin masif. Bahkan, pembubaran tersebut justru menguntungkan HTI.
"HTI justru mendapat keuntungan, dapat publikasi gratis pasca pembubaran. Apalagi pembubaran hanya legalitas organisasi saja, sementara tokoh dan ideologinya makin eksis," kata Analis Intelijen dan Keamanan, Ridlwan Habib saat ditemui Gatra.com di kawasan Setia Budi, Jakarta, Jumat (9/8).
Setelah dibubarkan, Ridlwan menyebut wacana Khilafah yang merupakan misi HTI makin mengemuka bahkan mendapatkan banyak pendukung.
"Mereka bisa mengambil floating mass yakni orang Islam yang tidak suka Jokowi dan Ahok. Lalu melihat seolah ada pendzaliman, mereka jadi simpatik pada HTI. Walau mereka tidak mengaji di HTI," ujar Ridlwan. Hal tersebut dapat dilihat dari wacana dalam Ijtimak Ulama IV yang menegaskan secara tertulis bahwa Khilafah adalah ajaran Islam.
Pembubaran HTI, menurut Ridlwan semakin menguatkan HTI. Sebab mereka menemukan justifikasi merasa dizalimi dan menumbuhkan in group feeling yang semakin mensolidkan HTI. HTI makin militan. Merasa ada pemerintah yang sedang berkonspirasi, justru mereka sekarang makin solid.
Selain itu, pasca pembubaran wacana Khilafah semakin mengemuka dan membuat banyak kalangan terlebih milenial penasaran. Kalangan inilah yang akhirnya menjadi target rekrutmen HTI.
Kemudian, pembubaran juga berdampak menyulitkan deteksi intelijen sebab akhirnya HTI bergerak sebagai organisasi tanpa bentuk dan sulit diidentifikasi. "HTI itu jamaah, bukan sekadar Ormas. Jamaah bisa berganti nama, berganti penyebutan. Ini sebuah sistem. Mereka membangun sistem sejak 80an, sejak dulu OTB. Kalau dibubarkan hanya organisasi, tidak efektif," tekan Ridlwan.
Ridlwan memaparkan, berdasarkan teori ancaman, dihitung dari misi dan pergerakan HTI, situasi politik serta kesiapan pemerintah, ancaman HTI cukup besar, terlebih di aspek politik dan sosial budaya. Mereka bukan ancaman kekerasan, tapi ancaman politik karena menegasikan NKRI. HTI juga dinilai sebagai ancaman sosial budaya karena menimbulkan segregasi di masyarakat.
Celakanya, pemerintah belum punya upaya sistematis menghadapi HTI dan cenderung gamang. Sebab langkah sebelumnya dari pemerintah justru malah membesarkan pergerakan HTI. Dengan demikian, perlu lembaga khusus yang melakukan pendekatan multi sektor dari aspek keamanan, politik, hingga sosial budaya untuk bisa meredam pergerakan HTI.
"HTI harus dialienasi, dimunculkan fakta kalau mereka berlawanan dengan karakter masyarakat Indonesia. Kalau mereka mengkampanyekan khilafah, harus ada narasi kalau NKRI sudah Islami. Narasi itu harus lebih tinggi, sehingga HTI tidak laku," pungkas Ridlwan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar