Sabtu, 04 Januari 2020

Wamenag: Mudah Mengafirkan Orang Islam Termasuk Radikal



Jakarta – Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi menegaskan, agama, apapun itu, sama sekali tidak memonopoli menjadi penyebab utama seseorang menjadi radikal. Karena, seseorang menjadi radikal itu banyak sumbernya.
“Radikalisme bisa bersumber dari masalah ekonomi, politik dan kesenjangan sosial,” kata Zainut dalam keterangannya dari Arab Saudi, Sabtu (28/12/2019).
Menurut Zainut, radikalisme itu bisa bermakna positif dan negatif. Dan ini tergantung pada konteks ruang dan waktu sebagai latar belakang penggunaan istilah tersebut.
Dikatakan Zainut, di antara pandangan radikal, misalnya pemahaman yang menganggap paham keagamaanya yang paling benar dan memandang paham dan praktik beragama orang lain salah dan sesat.
“Sikap mudah mengafirkan orang Islam dan berlebihan dalam beragama termasuk kedalam sikap radikal tersebut,” ujarnya.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, jelas Zainut, menolak konsep final NKRI yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika adalah bentuk sikap radikal.
Ia menegaskan, empat pilar kebangsaan ini, merupakan kesepakatan yang dihasilkan oleh para tokoh pendiri bangsa pada saat awal pembentukan negara bangsa Indonesia yang tidak boleh diingkari dan harus menjadi fondasi hidup bersama
“Karenanya, meskipun paham khilafah diakui oleh kalangan ulama sebagai ajaran Islam dan pernah ada dalam sejarah peradaban umat Islam, namun konsep tersebut tidak dapat diberlakukan di Indonesia,” katanya.
Hal itu karena bangsa Indonesia telah memiliki sebuah kesepakatan menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila. Dalam praktiknya, negara Pancasila menjamin semua agama untuk hidup dan menjamin warga negaranya untuk menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya.
“Khilafah bukanlah satu-satunya konsep politik atau bentuk negara atau pemerintahan dalam Islam,” jelasnya.
Namun yang wajib adalah mendirikan negara, sedangkan bentuk negara/pemerintahan dan mekanismenya merupakan wilayah ijtihad yang boleh jadi setiap negara berbeda dan hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam.
“Karenanya banyak negara muslim di dunia memiliki bentuk pemerintahan yang beragam,” imbuhnya.
Indonesia sendiri sudah memiliki konsep negara kesatuan yang berbentuk republik, maka secara otomatis konsep khilafah tertolak dengan sendirinya. “Bukan ditolak, tetapi tertolak karena bangsa Indonesia telah memiliki kesepakatan tentang bentuk negara dan dasarnya, Pancasila,” tandasnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar