Senin, 03 Februari 2020

Waspada! Radikalisme Berkembang di Kampus, Rektor Ikut Tanggung Jawab



Universitas merupakan tempat di mana generasi muda dididik untuk menjadi penerus bangsa sehingga pola pendidikan tidak boleh memiliki celah untuk masuknya gerakan yang tidak sesuai dengan Pancasila.
Tidak dapat dipungkiri gerakan radikal telah tumbuh dan berkembang di lembaga pendidikan tinggi baik umum maupun keagamaan. Segala simbol ekstremisme sengaja dibungkus dalam bentuk diskusi-diskusi.
Golongan yang ingin menggeser Pancasila tidak menyadari bahwa Indonesia dibangun oleh founding father dengan alas kemajemukan. Para pendahulupun menyusun Pancasila sebagai dasar negara yang mewadahi semua suku, agama, dan ras yang ada di Indonesia.
Betapa hebatnya para pejuang kita dalam merumuskan dasar negara dalam bingkai kebhinnekaan. Namun, sebegitu indahnya toleransi yang ada di negeri ini, segelintir kelompok ingin berusaha memporakporandakan tiap sendi yang terkandung dalam Pancasila.
Maka, sangat tidak layak apabila ada ‘ideologi impor’ yang tiba-tiba masuk ke Tanah Air dan mengacak-acak tatanan negara yang sudah susah payah dibangun.
Nah, generasi muda dalam hal ini mahasiswa sangat berperan penting dalam menjaga keberagaman yang tidak dimiliki negara manapun.
Untuk mengantisipasi masuknya gerakan intoleran ke dunia pendidikan, secara khusus universitas. Maka kampus-kampus perlu dibentengi oleh perisai Pancasila.
Dalam menyaring ideologi yang akan memasuki kampus, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (UIN Maliki) secara tegas melarang tumbuhnya gerakan-gerakan ekstrem di kampus. Rektor UIN Maliki, Prof Dr Mudjia Rahardjo, menuturkan kebijakan ini dimaksudkan untuk mengerem gerakan radikal yang akhir-akhir ini tumbuh subur di lembaga pendidikan.
Bulan lalu, UIN Maliki melarang diskusi nasional mengenai sistem Khilafah yang akan diselenggarakan di fasilitas milik kampus.
Khusus gerakan kekhalifaan, mahasiswa harus punya rencana aksi yang konkret dan paling utama adalah bagaimana kampus–kampus tidak dikuasai dan dijadikan media kekhalifahan.
Merendahkan dan menghina Pancasila adalah kejahatan tak terperi dan pastinya anti-demokrasi, kenapa masih saja ada upaya dari kelompok intoleran dan radikal untuk terus mengupayakan agar Indonesia mengadopsi konsep khilafah
Jelas ini tidak masuk akal, sementara HTI dipertanyakan oleh sebagian masyarakat, mengapa ormas radikal tersebut bisa bebas berkegiatan menyebarkan ‘ideologi khilafah’.
Keresahan inilah yang menjadi sangat penting untuk diwaspadai agar pergerakkan mereka tidak mendapat ruang ditiap jengkal republik ini.
HTI hanya memotret Indonesia sekilas sebagai alat provokasi, tapi tidak memberi solusi. Ormas-ormas seperti HTI jelas bertentangan dengan prinsip yang ada pada Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Ormas ini sama sekali tidak menjunjung tinggi perdamaian dan toleransi.
Sebagai catatan, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir, mengatakan, para rektor harus bertanggung jawab jika radikalisme berkembang di kampus yang mereka pimpin.
Radikalisme itu membutuhkan waktu yang panjang, oleh karenanya kampus harus mampu mencermati jika terjadi perubahan pada mahasiswa maupun dosen, misalnya membentuk kelompok eksklusif, karena itu merupakan tanda-tanda menjadi radikal. Sehingga terdeteksi sejak dini. Banyak fenomena harus dicermati dan harus ambil langkah tegas dengan memutus mata rantai pergerakan HTI.
Cukup banyak akademisi yang ikut ke dalam ISIS, kondisi itu harus diperhatikan secara serius oleh pimpinan perguruan tinggi. Pimpinan perguruan tinggi harus mampu mendeteksi dan mencegahnya. Disinilah kepedulian dosen, dekan, rektor, serta mahasiswa itu sendiri sangat penting.
Paham radikalisme dengan mudah masuk berkat kemajuan teknologi, sehingga rekan-rekan sesama mahasiswa juga harus ikut aktif memperhatikan dan melaporkan jika melihat teman-temannya mulai menunjukkan tanda-tanda radikalisme. (sl)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar