Selasa, 10 November 2020

Indonesia Bisa Bersaing di Dunia dengan UU Cipta Kerja

 


JAKARTA - Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani menilai Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja menjadi pintu masuk Indonesia untuk bersaing secara ekonomi di panggung dunia.


Menurut dia, Undang-undang itu sudah cukup menyeimbangkan berbagai pihak, baik pengusaha, buruh, maupun UMKM.


"Kami menyatakan sangat menyayangkan banyak pihak yang benar tidak tahu secara substansi UU ini sehingga banyak salah persepsi. Dan ini menimbulkan sudah satu mainset yang enggak bisa diubah, walaupun kami mencoba mengungkapkan fakta-fakta yang ada," kata Shinta dalam diskusi virtual bertema UU Cipta Kerja dan Dampaknya Bagi Kepentingan Publik, Selasa (13/10/2020).


Shinta menyadari pengusaha sangat membutuhkan Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja ini.


Sebab, pihak pengusaha sejak dulu sudah menyampaikan kepada pemerintahan bahwa permasalahan besar di Indonesia ini ialah aspek struktural sehingga membutuhkan reformasi.


"Kita disebutkan banyak cita-cita, Indonesia itu mau menjadi negara maju, ekonomi 5 besar dunia, kita harus perhatikan agar keluar dari middle income trap, kita harus pertumbuhan PDB USD 7,4 triliun. Cita-cita ini sangat indah, tetapi kita harus tahu bagaimana mencapai ini," ujar dia.


Shinta juga melihat Presiden Joko Widodo sudah menyatakan komitmennya untuk membuat UU Omnibus Law saat menyampaikan pidato ketika terpilih pada periode kedua.


Bahwa dengan UU itu, presiden bisa menstimulus investor atau pengusaha untuk menciptakan lapangan kerja baru.


Menurut Shinta, saat ini sebagian besar usaha di Indonesia berada di sektor informal.


Selain itu, kondisi semakin memburuk di tengah pandemi Covid-19.


Shinta juga melihat Presiden Joko Widodo sudah menyatakan komitmennya untuk membuat UU Omnibus Law saat menyampaikan pidato ketika terpilih pada periode kedua.


Bahwa dengan UU itu, presiden bisa menstimulus investor atau pengusaha untuk menciptakan lapangan kerja baru.


Menurut Shinta, saat ini sebagian besar usaha di Indonesia berada di sektor informal.


Selain itu, kondisi semakin memburuk di tengah pandemi Covid-19.


Baik investor dalam negeri, luar negeri, maupun UMKM.


Sekadar catatan, kata Shinta, nilai investasi per Rp 1 triliun hanya mampu menyerap 2.200 pekerja baru pada 2016.


"Sekarang ini penyerapan per Rp 1 triliun itu cuma 1.200. Jadi ini masalah yang harus diperhatikan. Kita harus investasi yang berkualitas," imbuhnya.


Dari sisi regulasi, lanjut Shinta, Indonesia paling banyak aturan dan syarat perizinannya, baik dari pusat maupun daerah.


Bahkan  setiap aturan dengan regulasinya pun tumpang tindih sehingga membuat investor terkendala untuk memulai usaha.


Shinta menyadari ada upaya pemerintah pusat dengan membuat Online Single Submission (OSS) untuk mempermudah pengusaha mengajukan perizinan.


Namun, kata Shinta, OSS itu tidak terintegrasi dengan daerah sehingga inovasi itu tidak efektif.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar