Rabu, 25 Agustus 2021

Hoax Vaksin Naik, Ada Sanksi untuk Pembuat dan Penyebar

 


Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menunjukkan peredaran hoax atau berita bohong soal vaksin Covid-19 melonjak setelah Program vaksinasi Covid-19 dimulai pada 13 Januari lalu.

Salah satu isu yang beredar adalah hoaks adanya alat pelacak barcode di vaksin Covid-19. Faktanya, barcode pada kemasan itu untuk melacak distribusi vaksin bukan untuk pelacakan tubuh orang yang disuntik vaksin Covid-19.

"Hoaks itu sudah ada dari dulu ya, cuma memang di era digital ini penyebarannya sangat masif dan biasanya terjadi karena ada event, kejadian bencana, dan pandemi ini," jelas Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Semuel Abrijani dalam keterangan resmi (26/1).

Ia mengatakan, sejak awal pandemi masuk ke Indonesia Maret 2020 hingga 26 Januari, terdapat 1.387 isu hoaks yang tersebar di dunia maya.

Sementara secara akumulatif pada Selasa pagi, ada 474 isu hoaks dari 1.000 sebaran di platform digital.

"Jadi, setiap harinya ada peningkatan terus," tambahnya.


Cara kenali hoaks

Semuel menyebut berita hoaks terdapat beberapa ciri yang bisa dikenali. Sehingga, Semuel mengimbau masyarakat harus paham dengan trik-trik penyebar hoaks.

Menurutnya, bermacam konten hoaks beredar di masyarakat ini diperparah oleh oknum yang tidak bertanggung jawab yang dengan sengaja menyebarkan berita bohong.

Berikut sejumlah hal yang harus diperhatikan.

1. Perhatikan keaslian foto dan keterangan yang disertakan. Sebab, pada banyak kasus, foto berbeda digunakan untuk menjelaskan sesuatu. Ada juga kejadian sudah lama namun dibuat seolah aktual.

2. Hati-hati pada judul yang provokatif,

3. Mencermati alamat situs

4. Mengecek keaslian foto.

Sanksi pembuat dan penyebar hoaks

Semuel menjelaskan, secara umum pemerintah sudah mengatur sanksi pidana bagi penyebar berita bohong dalam undang-undang. Sehingga, masyarakat perlu hati-hati jika kedapatan membuat dan menyebarkan hoaks.

"Apalagi kalau penyebaran hoaks ditemukenali secara sengaja sudah pasti kita mengetahuinya dan akan kita kejar. Tapi jika ada masyarakat yang tidak tahu namun ikut menyebarkan, itu juga merupakan tindakan yang berbahaya yang ada sanksinya," jelas Semuel.

Pelacakan dilakukan lewat data-data log file mesin ais Kominfo. Dengan menelusuri data ini, Kominfo mengklaim mampu mendeteksi siapa pelaku yang mengunggah konten hoaks pertama kalinya maupun melihat yang menjadi inisiatornya

"Kan, digital itu ada timeline, per detik pun kami lihat. Jadi, nanti polisi nanti bisa mendalami lebih jauh lagi dari mana. Inilah memang keunggulan digital, sebenarnya sangat terbuka. Jadi, kalau ada masyarakat yang memakai nama palsu pun kita tahu karena kita bisa deteksi," jelasnya.

Penyebar hoaks juga bisa dilaporkan ke polisi jika dinilai sudah mengganggu ketertiban umum. Saat ini sudah ada 104 kasus yang ditangani kepolisian terkait hoaks Covid-19.

Namun, jika informasi yang disebarkan bersifat kesalahan informasi yang tidak sampai mengganggu ketertiban umum, Kominfo akan memberikan stempel hoaks dan kembali menyebarkan informasi mengenai kekeliruan itu pada masyarakat.

Selain itu, langkah lain yang diambil adalah dengan cara men-take downatau menghapus dari sosial media sebagai sumber penyebarannya itu.

(can/eks)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar