Minggu, 22 Agustus 2021

Laporan Ombudsman soal Novel Baswedan Berpotensi Jadi Bumerang

Petrus Selestinus.

 

Jakarta - Ombudsman RI telah menerima laporan atau pengaduan perwakilan 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nonaktif, termasuk Novel Baswedan.

Laporan berisi dugaan pelanggaran administrasi atau maladministrasi yang diduga dilakukan pimpinan KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai pelaksanaan dari Peraturan Komisi (Perkom) No 1 Tahun 2021 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Merespons laporan tersebut, Ombudsman telah melakukan serangkaian pemeriksaan substantif dan menemukan tindakan dan/atau keputusan yang menyimpang dari prosedur sebagai maladministrasi pada 3 fokus isu utama, yaitu:

Pertama, rangkaian proses pembentukan kebijakan (Perkom No 1 Tahun 2021 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN).

Kedua, proses pelaksanaan dari peralihan pegawai KPK menjadi ASN.

Ketiga, tahap penetapan hasil asesmen TWK.

Tugas dan wewenang Ombudsman menurut Undang-Undang (UU) No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman dan UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik sebagai hukum acara bagi Ombudsman yaitu "Mengawasi Penyelenggaraan  Pelayanan Publik".

Maka 3 fokus isu dimaksud tidak masuk dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman untuk memeriksa dan mengeluarkan Laporan Hasil Akhir Pemeriksaan (LHAP) dan Rekomendasi.

Alasannya, karena objek pemeriksaan yang menjadi kewenangan Ombudsman seperti diatur di dalam UU No 25/2009 hanya meliputi Pelayanan Barang Publik dan Jasa Publik serta Pelayanan Administratif.

Karena itu, berdasarkan ketentuan Pasal 26 UU No 37/2008 yang mengatur bahwa "dalam hal berkas laporan sebagaimana dimaksud Pasal 25 dinyatakan lengkap, Ombudsman segera melakukan pemeriksaan substantif dan berdasarkan pemeriksaan substantif, maka Ombudsman seharusnya menetapkan "tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan".

Namun Ombudsman justru memilih melanjutkan pemeriksaan sehingga menabrak kewenangan lembaga negara lainnya.

Pertanyaannya, apakah 3 fokus isu utama itu termasuk dalam ruang lingkup wewenang Ombudsman yaitu Pelayanan Barang Publik, Jasa Publik dan Administrasi Publik menurut Pasal 5 UU No 25/2009 atau tidak?

Jawabannya tidak, karena soal rangkaian proses pembentukan Perkom No 1/2021 yang berwenang menguji dan menilai secara materiil dan formil menurut ketentuan Pasal 24A UUD 1945 ayat (1) merupakan wewenang Mahkamah Agung (MA) yang mengadili pada tingkat kasasi.

Juga dalam Pasal 31 UU No 3/2009 tentang MA dikatakan bahwa "MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bahwah UU terhadap UU dan menyatakan tidak sah peraturan perundang -undangan di bawah UU atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

Selain itu, Pasal 19 ayat (1) dan (2) UU No 30/2014 menegaskan, ayat (1): keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat  (2) huruf a dan Pasal 18 ayat (1) serta keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan Pasal 18 ayat (3) dinyatakan tidak sah apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Ayat (2): keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan wewenang sebagaimana dimaksud dalan Pasal 17 ayat (2) huruf b dan Pasal 18 ayat (2) dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Karena itu, penilaian Ombudsman terhadap dua isu utama lainnya, yaitu "Pelaksanaan  Peralihan Pegawai KPK menjadi ASN" dan "Tahap Penetapan Hasil Asesmen TWK" sebagai telah terjadi penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang oleh KPK dan BKN sebagai sikap yang prematur.

Karena Pasal 19 UU No 30/2014 secara tegas menyatakan bahwa keputusan atau tindakan yang ditetapkan/dilakukan dengan sewenang-wenang, tidak sah apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Selain itu, dua isu utama lainnya itu pun tidak termasuk dalam ruang lingkup kewenangan Ombudsman karena berdasarkan Pasal 31, 32 dan 33 UU No 5/2014 tentang ASN, hal itu merupakan tugas dan wewenang Komite ASN.

Yakni terkait pelaksanaan kebijakan dan manajemen ASN pada pemerintah dengan wewenang merekomendasikan kepada Presiden untuk menjatuhkan sanksi terhadap pejabat pembina kepegawaian dan pejabat yang berwenang lainnya yang melanggar prinsip sistem merit.

Berdasarkan ketentuan UUD 1945, UU MA, dan UU Administrasi Pemerintahan yang satu nafas dalam memberi wewenang kepada MA untuk menguji secara formil, materiil dan menyatakan tidak sah sebuah peraturan perundang-undangan di bawah UU.

Maka baik LHAP Ombudsman maupun rekomendasinya yang nantinya akan dikeluarkan, tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara hukum.

Alasannya, karena pernyataan telah terjadi pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang dalam proses Perkom No 1/2021 dan pelaksanaan TWK dinyatakan sebagai tidak sah, belum dilakukan uji materiil dan formil oleh MA.

Dengan begitu, maka Ombudsman akan diperhadapkan pada penilaian dan tuntutan telah melakukan tindakan maladministrasi yaitu bertindak melampaui wewenang, sewenang-wenang, dan/atau mencampuradukkan wewenang sehingga baik LHAP maupun rekomendasinya kelak menjadi bumerang bagi Ombudsman, karena tidak memiliki kekuatan hukum apa pun.

Padahal kata kuncinya itu terletak pada ketentuan Pasal 26 UU No 37/2008 yang mengatur bahwa "dalam hal berkas laporan sebagaimana dimaksud Pasal 25 dinyatakan lengkap, Ombudsman segera melakukan pemeriksaan substantif dan berdasarkan pemeriksaan substantif, maka Ombudsman dapat menetapkan: a. Tidak berwenang melanjutkan pemeriksaan; dan b. Berwenang melanjutkan pemeriksaan".

Namun kenyataannya Ombudsman mengabaikan opsi butir (a) dan lebih memilih butir (b) yaitu melanjutkan pemeriksaan.

Misi Negara

Mencermati LAHP Ombudsman, terdapat kesan kuat bahwa Ombudsman mengesampingkan atau mengabaikan faktor "misi negara" dalam setiap kebijakannya terkait pelayanan publik, di mana dalam Pasal 5 ayat (3) c UU Pelayanan Publik diatur tentang "misi negara" dalam pengadaan barang dan jasa publik.

Di situ dijelaskan bahwa misi negara adalah kebijakan untuk mengatasi permasalahan tertentu, kegiatan tertentu untuk mencapai tujuan tertentu yang berkenaan dengan kepentingan dan manfaat orang banyak (publik).

TWK bagi pegawai KPK menjadi ASN harus dipandang sebagai "misi negara" yang berkenaan dengan tugas dan fungsi KPK dalam menyelenggarakan pelayanan publik, yang melekat dalam kegiatan yang berkenaan dengan proses melahirkan ASN.

Karena ASN yang bakal dihasilkan adalah ASN yang benar-benar menghayati dan mampu mengaktualisasikan prinsip ASN yang berlandas pada nilai dasar; kode etik dan kode perilaku; komitmen; integritas moral, tanggung jawab; kompetensi; dll menyangkut kepentingan strategis nasional.

Kenyataannya, Ombudsman dalam menanggapi laporan/pengaduan 75 pegawai KPK nonaktif telah mengabaikan "misi negara" dan menyalahgunakan wewenang untuk tujuan lain di luar fungsi dan tujuan Ombudsman.

Begitu juga ORI seharusnya patut menduga bahwa di dalam proses alih status pegawai KPK menjadi ASN ada wewenang KASN terkait manajemen dan proses rekrutmen ASN menurut Pasal 31, 32 dan 33 UU No 5/2014, dan juga ada wewenang MA terkait uji materiil dan uji formil Perkom No 1/2021, soal TWK yang oleh Ombudsman dianggap sebagai menyalahi prosedur dan wewenang.

 

Perkom 1/2021 Vs Perkom 12/2018

Penyimpangan yang ditemukan menurut Ombudsman berupa "Pimpinan KPK tidak menyebarluaskan Rancangan Perkom No 1/2021 ke dalam sistem informasi internal setelah dilakukan proses perubahan dan 6 kali rapat harmonisasi hingga pada pengesahan rancangan peraturan KPK".

Sehingga dinilai Ombudsman sebagai telah menyimpang dari Perkom No 12/2018 tentang Produk Hukum KPK, yaitu kewajiban mengumumkan rancangan produk hukum ke dalam sistem informasi internal KPK, sebelum produk hukum tersebut disahkan menjadi peraturan resmi KPK.

Pada tahap ini, Ombudsman tidak jeli melihat perbedaan produk hukum KPK antara Perkom dan Peraturan Pimpinan KPK, karena pada Perkom, ia  adalah produk peraturan perundang-undangan yang kekuatan mengikatnya ke luar (mengikat publik), sehingga syarat wajibnya adalah "memperhatikan aspirasi atau pendapat masyarakat luas" (bukan aspirasi pegawai KPK).

Sedangkan Peraturan Pimpinan KPK, karena statusnya bukan peraturan perundang-undangan, yang sifat mengikatnya hanya berlaku ke dalam (internal) KPK, maka sosialisasi, saran dan usul dari pegawai KPK wajib diperhatikan.

Perkom No 1/2021 tidak memerlukan sosialisasi di internal KPK, karena ketentuan Pasal 17 ayat (4) Perkom No 12/2018 sendiri menyatakan bahwa, "dalam hal rancangan produk hukum berbentuk Perkom yang berdampak eksternal, wajib memperhatikan aspirasi/pendapat masyarakat" (bukan asprasi pegawai KPK), meskipun menurut temuan Ombudsman, rancangan Perkom No 1/2021 itu terakhir kali disosialisasikan ketika masih berada di tahap awal, artinya sosialisasi itu ada.

Di Luar Ruang Lingkup

Hukum Acara Ombudsman sesungguhnya terletak pada UU No 25/2009. Karena itu ruang lingkup tugas pengawasan pelayanan publik oleh Ombudsman hanya meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administrasi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (UU No 25/2009, UU No 30/2014 dan UU No 37/2008 serta peraturan perundang-undangan lainnya).

Ruang lingkup objek pelayanan publik (UU No 25/2009), Pasal 5 ayat (1) bahwa ruang lingkup pelayanan publik meliputi pelayanan "barang publik" dan "jasa publik" serta "pelayanan administratif" yang diatur dalam peraturan perundang-undangan; ayat (2) ruang lingkup sebagaimana diatur pada ayat (1) meliputi: pendidikan, pengajaran, pekerjaan dan usaha, tempat tinggal, komunikasi dan informasi, lingkungan hidup, kesehatan, jaminan sosial, energi, perbankan, perhubungan, sumber daya alam, pariwisata, dan sektor strategis lainnya.

Dengan demikian baik pengumuman LHAP Ombudsman maupun rekomendasinya yang akan dikeluarkan jelas bertentangan dengan ketentuan Pasal 19 UU No 30/2014, yang mensyaratkan bahwa "tindakan melampaui wewenang", "mencampuradukkan wewenang" dan "bertindak sewenang-wenang" dinyatakan tidak sah apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Karena itu, Ombudsman patut diduga telah melakukan penyalahgunaan wewenang, berupa telah mencampuradukkan wewenang, melampaui wewenang dan bertindak sewenang-wenang sebagai perbuatan yang dilarang oleh Pasal 17 UU No 30/2014.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar