Rabu, 23 November 2022

Kebijakan Subsidi BBM: Menegakkan Disiplin Anggaran

   


A. LATAR BELAKANG

Dampak buruk kebijakan subsidi bahan bakar minyak disadari sejak lama namun upaya mencabut kebijakan tersebut tampak sulit dilakukan. Mencabut subsidi berarti menyerahkan penentuan harga minyak kepada mekanisme pasar. Walaupun tersedia mekanisme untuk menstabilkan harga bahan bakar minyak (BBM) di dalam negeri, kekawatiran terhadap fluktuasi harga BBM akibat perubahan harga minyak di pasar dunia senantiasa menciptakan kekawatiran pengambil kebijakan. Hambatan lainnya adalah pandangan bahwa BBM merupakan barang strategis yang penentuan harganya tidak dapat sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar.

Di tengah upaya pemerintah mengurangi subsidi BBM, belakangan muncul kebijakan baru berupa pemberian subsidi secara terselubung. Maksud dari kebijakan tersebut diduga untuk mengurangi fluktuasi harga BBM di dalam negeri. Berbeda dengan kebijakan subsidi yang pembiayaannya dianggarkan pada RAPBN sebagai pengeluaran subsidi, subsidi BBM dalam bentuk dana kompensasi dianggarkan dalam pos anggaran dana cadangan untuk pengeluaran lain-lain.

Kajian ini bertujuan menganalisis kebijakan subsidi BBM dan permasalahan yang muncul akibat kebijakan subsidi BBM secara terselubung dalam bentuk pembayaran kompensasi BUMN akibat penetapan harga BBM yang lebih rendah dari biaya produksinya.

Tujuan kebijakan subsidi BBM

Indonesia memberlakukan subsidi bahan bakar minyak (BBM) sejak bergabung sebagai anggota Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada tahun 1962 untuk meredam inflasi, membantu rakyat miskin, dan melaksanakan pelayanan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945 (Chelminski, 2018). Kebijakan tersebut dilakukan berdasarkan pandangan bahwa rakyat Indonesia perlu merasakan manfaat langsung atas kepemilikan sumber daya alam minyak bumi oleh negara. Selain itu, BBM merupakan kebutuhan dasar yang harus terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan penetapan harga BBM lebih murah dari nilai keekonomiannya, BBM diharapkan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk masyarakat berpendapatan rendah (miskin). 

Subsidi BBM berpengaruh pada penghasilan nyata rumah tangga baik secara langsung maupun tidak langsung. Harga BBM murah menyebabkan porsi pendapatan yang harus dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan energi bisa ditekan. Selain itu, subsidi BBM berpengaruh secara tidak langsung terhadap pengeluaran rumah tangga karena biaya yang dikeluarkan untuk barang dan jasa lain, terutama yang diproduksi membutuhkan energi, menjadi lebih murah. Dengan demikian, subsidi BBM diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Biaya subsidi BBM

Meskipun pada dasarnya tujuan kebijakan subsidi BBM  untuk mengurangi beban dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi kebijakan tersebut tampaknya bukan kebijakan yang paling efektif untuk memenuhi tujuan ini. Subsidi energi, termasuk bahan bakar minyak, menimbulkan biaya ekonomi, fiskal, sosial dan lingkungan yang signifikan dan bertentangan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berikut ini adalah biaya-biaya yang muncul karena kebijakan subsidi BBM atau subsidi energi pada umumnya.

Biaya ekonomi

Subsidi bahan bakar minyak menimbulkan efficiency cost karena mengaburkan sinyal harga. Penetapan harga lebih rendah dari opportunity cost menimbulkan distorsi pada konsumsi dan keputusan investasi. Dampak yang muncul adalah sebagai berikut:

  • Konsumsi berlebihan. Konsumsi berlebih menyebabkan peningkatan permintaan: mengurangi ekspor dan menambah impor. Dengan demikian, subsidi dapat menekan akun lancar (current account) dalam neraca pembayaran, sehingga berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah.
  • Efek subsidi BBM menyebar ke berbagai sektor, khususnya sektor padat energi, memengaruhi biaya produksi dan harga relatif barang yang diproduksinya. Perubahan harga relatif akan memengaruhi daya saing relatif tiap-tiap barang di pasar dunia.
  • Subsidi mengurangi kemampuan dan insentif investasi pada infrastruktur baru dan proses produksi. Subsidi juga menyebabkan memburuknya situasi keuangan perusahaan energi milik negara dan mengakibatkan investasi berkurang. Sebagai contoh, karena harus mengelola program subsidi silang antar daerah dan konsumen, yang mengakibatkan kondisi keuangan Perusahaan Listrik Negara (PLN) terganggu. Kompensasi negara tidak selalu dapat menutupi kesenjangan antara biaya produksi dengan harga jual. Sehingga PLN tidak dapat mendanai investasi baru, memperluas elektrifikasi di daerah pedesaan dan terkadang bahkan melakukan pemeliharaan standar. Akibatnya adalah pengembangan kapasitas pembangkit berkurang dan sering terjadi pemadaman listrik.
  • Distorsi harga dapat pula mengakibatkan kesalahan alokasi sumber daya dan pilihan investasi yang tidak efisien. Subsidi untuk jenis energi atau teknologi tertentu pasti akan merusak pengembangan dan komersialisasi sumber dan teknologi lain yang pada akhirnya mungkin menjadi lebih menarik secara ekonomi (dan juga lingkungan). Dengan demikian, subsidi dapat “mengunci” teknologi dengan mengesampingkan teknologi lain yang lebih menjanjikan.
  • Distorsi harga energi mendorong substitusi input lain (modal dan tenaga kerja) dengan energi. penghapusan subsidi energi dapat mendorong penyerapan tenaga kerja.
  • Kebijakan subsidi dapat menghambat persaingan usaha. Perusahaan energi milik negara, yang ditunjuk menjadi penyalur produk bersubsidi mendapatkan manfaat lebih dibandingkan produsen lain yang menjual produk non subsidi.
  • Kebijakan subsidi mendorong korupsi dan penyelundupan produk bersubsidi ke negara tetangga atau ke sektor non-subsidi di mana harga jual lebih tinggi; menimbulkan biaya administrasi besar untuk pemantauan, mencegah dan menangani penyalahgunaan.

Biaya fiskal

Pengeluaran untuk subsidi BBM menjadi beban berat anggaran negara. Penggunaan anggaran untuk subsidi energi mengurangi kemampuan negara untuk membiayai kebutuhan lain, termasuk pengeluaran subsidi pendidikan, kesehatan dan subsidi dan bantuan yang langsung menyasar masyarakat miskin.

Kebijakan subsidi BBM juga membuat anggaran negara rentan terhadap pergerakan harga minyak bumi di pasar global. Harga minyak bumi di pasar dunia cenderung pro-siklus, naik ketika ekonomi tumbuh lebih cepat. Pengeluaran subsidi cenderung naik ketika ekonomi global tumbuh cepat dan turun ketika ekonomi tumbuh lebih lambat.

Biaya sosial

Manfaat subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi sementara biaya subsidi dibebankan pada seluruh pembayar pajak. Karena subsidi bersifat regresif, mereka yang mengonsumsi paling banyak menerima manfaat terbesar dari subsidi tersebut. Survei menunjukkan bahwa konsumsi bahan bakar meningkat seiring dengan tingkat pendapatan. Akibatnya, lebih dari 90 persen subsidi bahan bakar menguntungkan 50 persen rumah tangga terkaya di Indonesia (Agustina et al., 2008). 

Biaya Lingkungan

Subsidi BBM dan energi pada umumnya, menimbulkan biaya lingkungan dengan mendorong emisi gas rumah kaca, polusi udara lokal, dan pengurasan sumber daya alam. Kebijakan subsidi bertentangan atau tidak sejalan dengan kecenderungan umum untuk beralih ke ekonomi yang lebih hijau. Dengan menjaga harga tetap rendah secara artifisial, subsidi bahan bakar mendorong konsumsi produk minyak bumi yang berpolusi secara boros. Subsidi BBM mengurangi insentif untuk melakukan efisiensi energi. Dengan mengaburkan sinyal harga, subsidi merusak diversifikasi sumber energi dan teknologi yang lebih bersih.

Tantangan reformasi subsidi BBM

Tantangan terbesar terhadap kebijakan penghapusan subsidi BBM adalah adanya anggapan sementara kalangan, termasuk mereka yang terdidik, bahwa negara kita memiliki kekayaan alam minyak bumi cukup banyak sehingga masyarakat berhak mendapatkan BBM dengan harga murah. Harga BBM menjadi persoalan sensitif bagi pemerintah karena kebijakan menaikkan harga BBM selalu mendapatkan penolakan dari berbagai kalangan. Menghapus subsidi BBM adalah kebijakan tidak popular dan memerlukan upaya keras untuk meyakinkan masyarakat bahwa kebijakan tersebut diperlukan agar pemerintah dapat menyediakan anggaran cukup untuk kebutuhan lain yang memberi manfaat lebih besar bagi orang miskin.

Selain itu, BBM dianggap sebagai produk strategis dan menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga penetapan harganya tidak dapat diserahkan berdasarkan mekanisme pasar. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Perkara 002/’PUU-112003[1] menyatakan bahwa ketentuan Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan demikian, aturan pasal 28 ayat (2) UU Migas yang menyatakan  “harga bahan bakar minyak dan gas bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar” dianggap tidak berlaku.

Untuk menggantikan aturan pasal 28 ayat 2 UU Migas yang dibatalkan Mahkamah Konstitusi seperti disebutkan di atas, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 tahun 2009. Pasal 72 PP Nomor 30 tahun 2009 menyatakan bahwa “Harga Bahan Bakar Minyak dan Gas Bumi diatur dan / atau ditetapkan oleh Pemerintah.”Walaupun tidak mengharuskan pemerintah untuk memberi subsidi, ketentuan tersebut mengharuskan pemerintah melakukan intervensi harga BBM.

~o0o~

B. SUBSIDI BBM DI TENGAH ANCAMAN KRISIS ENERGI

Indonesia menghadapi persoalan serius di sektor energi, terutama sektor minyak dan gas bumi. Defisit minyak bumi makin membengkak sehingga tidak lagi dapat ditutup oleh surplus produksi gas bumi. Tanpa upaya luar biasa dan segera, defisit perdagangan energi bisa mencapai sekitar US$80 miliar atau 3 persen PDB pada 2040.

Perkembangan konsumsi dan produksi minyak dan gas bumi 

Karena konsumsi minyak bumi terus meningkat sementara produksinya berkurang, Indonesia berkembang dari negara net eksportir menjadi net importir minyak dan produk minyak bumi.

Berdasarkan dana British Petroleum (2020), selama sepuluh tahun terakhir (2010-2019) konsumsi minyak bumi[2]naik rata-rata 2,9 persen per tahun. Selama dua puluh terakhir, pertumbuhan konsumsi cenderung naik. Pada periode 2000-2009, konsumsi minyak bumi hanya naik rata-rata 2,7 persen per tahun. Konsumsi minyak bumi terus tumbuh disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk dan kenaikan konsumsi energi per kapita. Sebagaimana negara-negara Emerging Market pada umumnya, pertumbuhan konsumsi energi Indonesia tergolong relatif tinggi (Lampiran 1). Sementara itu, penggunaan sumber energi terbarukan tumbuh sangat lambat (Lampiran 3), sehingga kenaikan kebutuhan energi langsung berpengaruh pada peningkatan konsumsi minyak bumi.

Sebaliknya, produksi minyak bumi terus menurun. Pada periode 2010-2019, produksi minyak bumi turun rata-rata 2,3 persen per tahun. Laju penurunan produksi minyak bumi makin berkurang karena tingkat produksinya sudah sangat rendah. Produksi pada 2019 tinggal separuh produksi pada 2000. Pada periode 2000-2009, produksi minyak bumi turun rata-rata 3,3 persen per tahun. Produksi minyak bumi saat ini (2019) hanya sebesar 781,4 ribu barel per hari (285,2 juta barel per tahun) sama seperti tingkat produksi minyak bumi di awal perkembangannya di tahun 1970an.

Peningkatan konsumsi dan penurunan produksi minyak bumi menyebabkan defisit produksi minyak bumi. Defisit minyak bumi (produksi lebih kecil dari konsumsi) telah terjadi sejak 2003. Saat ini defisit produksi minyak bumi diperkirakan sekitar 800 Ribu barel per hari.

Defisit produksi minyak bumi tercermin pada perkembangan ekspor dan impor minyak mentah dan produk minyak. Sementara volume impor minyak mentah relatif stabil, volume ekspornya terus berkurang dan mengalami penurunan tajam pada tiga tahun terakhir (2017-2019). Defisit volume perdagangan minyak mentah telah terjadi sejak 2013.[3] Pada 2019, saat ini defisit minyak bumi (ekspor dikurangi impor) mencapai 59 juta barel. Padahal, sebelum krisis ekonomi 1997, surplus perdagangan minyak bumi hampir mencapai 215,5 juta barel. 

Defisit minyak mentah terutama disebabkan oleh penurunan ekspor karena produksinya terus berkurang. Sementara volume impor minyak mentah terus berkembang untuk memenuhi kebutuhan produksi kilang minyak di dalam negeri. Pada 2019, volume impor minyak mentah mencapai 84,9 juta barel sementara ekspornya hanya 25,8 juta barel. Dengan demikian terjadi defisit perdagangan minyak mentah sebesar 59,1 juta barel.

Produksi BBM tercermin pada refinery throughput[4] pengilangan minyak bumi. Sejak lebih dari dua puluh tahun terakhir, sejak 1997, refinery throughput relatif konstan, rata-rata 913 ribu barel per hari. Bahkan selama 2010-2017, rata-rata refinery throughput hanya sebesar 853,7 barel per hari (Lampiran 2).  Dengan produksi yang relatif konstan, tidak mengherankan jika impor BBM semakin meningkat.

Sejak 1997, perdagangan produk minyak mengalami defisit (volume ekspor lebih kecil dari volume impor). Defisit produk minyak meningkat dari 11,2 juta barel pada 1997 menjadi 160,6 juta barel pada 2011. Sejak itu, defisit produk minyak relatif stabil dengan rata-rata 165 juta barel per tahun.

Beruntung, hingga saat ini Indonesia masih mengalami surplus produksi gas bumi. Sayangnya, surplus gas kian menyusut. Sama halnya dengan konsumsi minyak bumi, konsumsi gas bumi juga terus meningkat. Sementara itu, produksinya sejak 2011 makin berkurang. Surplus produksi gas bumi mencapai puncaknya pada 2010, yaitu sebesar 42,73 miliar m2 (bcm) atau 252,69 juta barel setara minyak (boe). Pada 2019, surplus produksi gas bumi tinggal 23,72 bcm (139,57 juta boe)

Impor gas dilakukan karena hanya sebagian kecil gas yang kita hasilkan dapat diubah menjadi LPG[5]. Sumur gas di Indonesia umumnya menghasilkan gas bumi yang mengandung lebih banyak metana dan hanya dapat diubah menjadi gas bumi cair (liquefied natural gas/LNG) atau gas terkompresi (compress natural gas/CNG). Padahal, kita membutuhkan LPG yang diproduksi dari gas yang mengandung banyak propana. Volume impor gas melonjak lebih dua kali lipat pada 2009 dan kemudian naik rata-rata 22 persen per tahun sampai 2019.

Ekspor gas bumi mencapai puncaknya pada 2011, bersamaan dengan puncak produksinya. Setelah itu, ekspor gas bumi terus berkurang karena penurunan produksi dan peningkatan konsumsi dalam negeri.[6] Kombinasi antara kenaikan impor dan penurunan ekspor menyebabkan surplus perdagangan gas bumi terus berkurang. Pada 2019, surplus perdagangan gas bumi tinggal 66,4 juta boe menurun dari yang tertinggi yang pernah dicapai (261,4 juta boe) pada 2011.

Transaksi perdagangan minyak dan gas bumi

Di akhir dasawarsa 1990an (1996-1999), nilai ekspor minyak mentah Indonesia berkisar antara tiga sampai empat kali nilai impornya. Karenanya transaksi perdagangan minyak mentah mengalami surplus rata-rata US$3,4 miliar per tahun. Nilai ekspor minyak mentah mengalami peningkatan sampai 2011. Pada saat yang sama nilai impornya juga naik, bahkan kenaikannya lebih besar dari kenaikan ekspor sehingga  transaksi perdagangan minyak mentah terus menyusut.

Sejak 2012, nilai ekspor minyak mentah terus menurun sedangkan impornya baru mengalami penurunan belakangan (2014). Pada 2013, Indonesia mulai mengalami defisit transaksi perdagangan minyak mentah dengan nilai menapai US$3,4 miliar. Sejak itu transaksi perdagangan minyak mentah terus mengalami defisit. Pada dua tahun terakhir (2018 dan 2019), defisit transaksi perdagangan minyak mentah masing-masing sebesar US$4 miliar.

Defisit transaksi perdagangan minyak mentah menyebabkan defisit transaksi perdagangan minyak bumi (minyak mentah dan produk minyak) secara keseluruhan semakin membengkak.

Indonesia sudah lama mengalami defisit transaksi perdagangan produk minyak. Defisit transaksi perdagangan produk minyak mengalami peningkatan dan mencapai puncaknya pada 2011-2014. Pada 2015, defisit transaksi perdagangan produk minyak mengalami penurunan karena impornya turun tajam. Sejak itu, defisit transaksi perdagangan produk minyak relatif stabil dengan rata-rata US$12,6 miliar.

Indonesia mengalami surplus produksi gas bumi sehingga transaksi perdagangan gas bumi mengalami surplus. Surplus transaksi perdagangan gas bumi mencapai puncaknya pada 2011 senilai US$21,5 miliar. Setelah itu, surplus transaksi perdagangan gas bumi mulai berkurang dikarenakan ekspornya turun tajam sementara impornya naik.

Penurunan surplus transaksi perdagangan gas bumi, di tengah defisit transaksi perdagangan minyak bumi menyebabkan transaksi perdagangan migas (minyak dan gas bumi secara keseluruhan) semakin memburuk. Sejak 2007, Indonesia praktis tidak lagi menikmati surplus perdagangan migas. Selama 2007-2011, transaksi perdagangan migas dapat dikatakan imbang. Pada 2012 terjadi penurunan ekspor migas sementara impornya naik sehingga transaksi perdagangan migas mengalami defisit cukup besar (US$5,6 miliar). Sejak itu transaksi perdagangan migas terus menerus mengalami defisit. Pada 2018 dan 2019, defisit perdagangan minyak dan gas masing-masing sebesar US$12,6 miliar dan US$10,0 miliar. Selama 2012-2019, rerata defisit perdagangan minyak dan gas bumi mencapai US$9,3 miliar.

Memperhatikan kecenderungan penurunan produksi minyak bumi dan peningkatan konsumsi BBM, defisit transaksi perdagangan minyak bumi diperkirakan akan terus membesar. Saat ini, Indonesia masih menikmati surplus produksi gas bumi sehingga transaksi perdagangannya juga surplus. Berdasarkan kajian Wood Mackenzie, transaksi perdagangan gas bumi pada 2034 juga akan mengalami defisit. Indonesia memang masih mempunyai sumber energi batu bara yang akan terus menyumbang pada penerimaan ekspor. Namun surplus perdagangan batu bara tidak akan mampu lagi menutup defisit transaksi perdagangan migas sehingga transaksi perdagangan energi secara keseluruhan mengalami defisit. Menurut kajian yang sama, defisit perdagangan energi diperkirakan akan mencapai US$80 miliar pada 2040.

Defisit perdagangan energi akan semakin membebani neraca pembayaran yang selanjutnya mengancam stabilitas nilai tukar dan makro ekonomi. Selain itu, defisit energi juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

~o0o~

C. KEBIJAKAN HARGA BAHAN BAKAR MINYAK

Kebijakan harga BBM mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 30 tahun 2009, pasal 72 yang menyatakan bahwa harga BBM diatur dan/atau ditetapkan oleh pemerintah. PP tersebut dijabarkan oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 tahun 2014[7] yang mengelompokkan bahan bakar minyak menjadi tiga kategori yaitu bahan bakar tertentu, bahan bakar khusus penugasan dan bahan bakar umum. Adapun pengaturan harga ketiga kategori bahan bakar tersebut adalah sebagai berikut:

  • Bahan bakar tertentu. BBM Tertentu terdiri atas Minyak Tanah (Kerosene) dan Minyak Solar (Gas Oil). Harga minyak tanah ditetapkan berdasarkan penetapan harga nominal; Harga Minyak Solar ditetapkan dengan formula sesuai dengan Harga Dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dan dikurangi subsidi paling banyak sebesar Rp 1.000 (seribu rupiah). 
  • BBM Khusus Penugasan. Jenis BBM Khusus Penugasan merupakan BBM jenis Bensin (Gasoline) RON minimum 88 untuk didistribusikan di wilayah penugasan. Harga BBM khusus penugasan ditetapkan dengan formula sesuai dengan Harga Dasar ditambah biaya distribusi di wilayah penugasan (2 persen dari harga dasar), ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
  • BBM Umum. BBM Umum terdiri atas seluruh jenis BBM di luar jenis BBM Tertentu dan jenis BBM Khusus Penugasan seperti disebutkan di atas. Harga BBM umum ditetapkan oleh Badan Usaha dengan formula sesuai dengan Harga Dasar ditambah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), dengan ketentuan sebagai berikut: (a) harga terendah, dengan margin badan usaha paling rendah lima persen dari harga dasar; dan (b) harga tertinggi, dengan margin badan usaha paling tinggi 10 persen dari harga dasar.

Perpres 191/2014 mencerminkan semangat untuk melakukan pengurangan subsidi BBM. Berdasarkan aturan tersebut harga BBM, kecuali minyak tanah yang nominal harganya ditentukan dan minyak solar yang mendapat subsidi maksimum seribu rupiah per liter, ditetapkan berdasarkan formula yang mengacu kepada harga minyak bumi di pasar global, dalam hal ini harga transaksi di bursa minyak Singapura (MOPS). Berdasarkan aturan tersebut harga jual eceran BBM diubah setiap bulan sesuai dengan perubahan harga minyak di bursa Singapura. Selain itu, pemerintah tidak perlu mengeluarkan subsidi untuk bensin premium. Subsidi hanya diberikan untuk minyak tanah dan minyak solar.

Dalam perkembangannya kemudian, pada 24 Mei 2018, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres Nomor 43 tahun 2018.[8] Dalam peraturan baru tersebut disebutkan bahwa, dalam hal tertentu, Menteri dapat menetapkan harga jual eceran Jenis BBM Tertentu dan Jenis BBM Khusus Penugasan berbeda dengan perhitungan formula yang ditetapkan, dengan mempertimbangkan antara lain: a. kemampuan keuangan negara; b. kemampuan daya beli masyarakat; dan/atau c. ekonomi riil dan sosial masyarakat” (Pasal 3 ayat (8)). 

Selanjutnya peraturan tersebut menyatakan, dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan oleh auditor yang berwenang dalam 1 (satu) tahun anggaran terdapat kelebihan dan/atau kekurangan penerimaan Badan Usaha penerima penugasan sebagai akibat dari penetapan harga jual eceran BBM, menteri keuangan menetapkan kebijakan pengaturan kelebihan dan/atau kekurangan penerimaannya setelah berkoordinasi dengan menteri ESDM dan menteri BUMN.

Pemerintah tampak tidak ingin harga jual eceran BBM berubah-ubah mengikuti perubahan harga minyak di pasar dunia. Oleh karenanya, pemerintah dapat menetapkan harga BBM untuk jangka waktu lebih lama dari sebulan seperti yang diharuskan oleh aturan sebelumnya. Stabilitas harga BBM kadang-kadang diperlukan misalnya untuk menjaga stabilitas harga barang dan jasa yang banyak menggunakan BBM misalnya jasa transportasi. Selain itu, kenaikan harga BBM yang tinggi menimbulkan citra buruk dan ketidakpuasan masyarakat pada pemerintah. 

Konsekuensi dari kebijakan baru tersebut, pemerintah harus menalangi kekurangan apabila harga jual eceran ditetapkan lebih rendah dari harga yang dihitung berdasarkan formula. Sebaliknya, BUMN yang pelaksana penugasan harus membayar kelebihan apabila harga jual eceran ditetapkan lebih tinggi dari harga yang dihitung berdasarkan formula. Dalam praktiknya, harga yang ditetapkan lebih rendah dari harga yang ditetapkan berdasarkan formula sehingga pemerintah harus membayar kompensasi atas kekurangan penerimaan BUMN penerima penugasan, dalam hal ini PT Pertamina.

~o0o~

D. ANGGARAN SUBSIDI BAHAN BAKAR MINYAK

Salah satu tujuan dari kebijakan subsidi adalah redistribusi, agar distribusi pendapatan menjadi lebih merata. Dengan menetapkan harga lebih murah barang yang disubsidi menjadi dapat dijangkau oleh masyarakat yang miskin sekalipun. Subsidi BBM tampak tidak sejalan dengan tujuan tersebut karena ternyata orang miskin sedikit menggunakan BBM dari pada orang kaya. Sementara itu, subsidi BBM membutuhkan anggaran sangat besar. 

Besarnya anggaran yang dibutuhkan untuk subsidi BBM mengurangi kemampuan pemerintah untuk membiayai pengeluaran yang lebih dibutuhkan oleh orang miskin, misalnya subsidi pendidikan dan kesehatan.

Besaran pengeluaran subsidi BBM

Sampai dengan 2014, Subsidi BBM merupakan komponen belanja pemerintah pusat yang sangat besar. Pada 2014, pengeluaran untuk subsidi BBM mencapai Rp191,01 triliun. Pada saat itu, pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM lebih besar dari belanja barang (Rp176,62 triliun), belanja modal (Rp147,35 triliun) dan pembayaran bunga hutang (Rp133,44 triliun). Pada periode 2011-2014, pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM sangat besar. Hal ini disebabkan oleh konsumsi dan harga yang tinggi. Pada tahun-tahun tersebut harga minyak bumi di pasar dunia rata-rata di atas US$90 per barel. Subsidi BBM memang sangat dipengaruhi oleh perkembangan harga minyak di pasar dunia.

Subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) turun tajam menjadi Rp 34,89 triliun pada 2015. Penurunan subsidi BBM sebesar 82 persen seperti terjadi pada 2015 tidak pernah terjadi sebelumnya. Penurunan subsidi BBM yang besar (72,5 persen) pernah terjadi pada 2009 yang disebabkan oleh penurunan harga minyak bumi dari US$99,61 per barel pada 2008 menjadi US$61,7 per barel pada 2009. Penurunan pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM pada 2015 terjadi karena kombinasi antara penurunan harga minyak bumi dan kebijakan pemerintah menghilangkan subsidi untuk bahan bakar bensin premium (gasoline Ron88).

Penurunan tajam tersebut terjadi karena penurunan subsidi premium yang pada 2014 mencapai Rp108,96 triliun pada 2014 menjadi hanya 11,19 triliun pada 2015. Penurunan tajam juga terjadi pada subsidi minyak solar yang berkurang dari Rp 74,86 triliun pada 2015 menjadi Rp20,48 triliun pada 2015. Penurunan juga terjadi pada subsidi minyak tanah, walau sejak diberlakukannya kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji, belanja pemerintah untuk subsidi minyak tanah relatif kecil.

Komposisi subsidi energi

Sejak 2015, belanja pemerintah untuk subsidi BBM relatif kecil dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Selama lima tahun terakhir, 2015-2019, persentase belanja subsidi BBM paling besar hanya 2,9 persen dari total belanja pemerintah pusat, atau 18,8 persen dari total pengeluaran subsidi pemerintah.[9] Sebelumnya, pada 2017, subsidi BBM pernah mencapai hampir 18 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat dan lebih dari separuh dari pengeluaran untuk subsidi.

Belakangan, sejak 2015, belanja pemerintah untuk subsidi bahan bakar minyak semakin berkurang, terutama disebabkan karena penghapusan subsidi bensin premium (Gasoline RON 88). Sebelumnya, pada 2014, pengeluaran untuk subsidi BBM saja, hampir separuh (48,73 persen) dari pengeluaran subsidi atau 15,87 persen dari total pengeluaran pemerintah pusat. Belakangan, pengeluaran untuk subsidi BBM telah berkurang menjadi hanya kurang dari 3 persen dari total belanja pemerintah pusat atau kurang dari 10 persen dari total pengeluaran subsidi. Penurunan pengeluaran untuk subsidi bahan bakar minyak memungkin alokasi anggaran lebih besar untuk penggunaan yang lebih bermanfaat, seperti investasi infrastruktur, akumulasi modal manusia, dan program perlindungan sosial.

~o0o~

E. BENTUK BARU SUBSIDI BBM

Sejak 1 Januari 2015, pemerintah tidak lagi memberi subsidi harga bensin premium atau bensin RON88. Harga bensin premium selanjutnya ditetapkan berdasarkan formula  seperti ditetapkan oleh Perpres 191 tahun 2014. Pencabutan subsidi tersebut berdampak besar pada pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM. Pengeluaran pemerintah untuk subsidi BBM turun tajam dari Rp191,0 triliun pada 2014 menjadi Rp34,9 triliun pada 2015.

Pencabutan subsidi bensin premium pada saat itu relatif tidak banyak mendapatkan penolakan masyarakat. Harga minyak bumi di pasar dunia saat itu sedang rendah, sehingga harga baru tanpa subsidi lebih murah dari harga yang ditetapkan sebelumnya. Selanjutnya harga BBM umum ditetapkan setiap bulan pada awal bulan. Karena ditetapkan setiap bulan berdasarkan formula yang tergantung pada harga minyak bumi di pasar dunia, harga BBM, khususnya bensin premium menjadi berubah-ubah.

Perpres Nomor 43 tahun 2018 memberi kewenangan kepada Menteri ESDM untuk menetapkan harga BBM umum berbeda dengan harga yang dihitung berdasarkan formula. Harga yang sudah ditetapkan dapat terus berlaku walaupun terjadi perubahan harga minyak bumi di pasar global yang menjadi patokan. Dengan demikian harga BBM menjadi lebih stabil.

Konsekuensi dari perubahan kebijakan tersebut adalah kerugian atau keuntungan apabila harga bensin premium yang ditetapkan lebih rendah atau lebih tinggi dari harga yang dihitung berdasarkan formula. Kerugian dan keuntungan yang terjadi dalam satu tahun dapat saja saling menutupi. Namun pada kenyataannya, sejak kebijakan tersebut diberlakukan, pemerintah harus membayar kompensasi kepada Pertamina selaku badan usaha yang ditugaskan untuk memproduksi bensin premium, atas kekurangan penerimaan yang disebabkan oleh penetapan harga tersebut.

Kompensasi kerugian BUMN

Kompensasi atas kekurangan penerimaan BUMN penerima penugasan pada dasarnya bentuk subsidi terselubung. Namun, pengeluaran untuk kompensasi tersebut dalam mata anggaran tidak dicatat dalam pengeluaran subsidi, tetapi dicatat pada pos pengeluaran lain-lain.

Ketentuan tentang tata cara pembayaran kompensasi kepada BUMN penerima penugasan diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 227/2019 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan, dan Pertanggungjawaban Dana Kompensasi Atas Kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Kebijakan Penetapan HJE BBM dan Tarif Tenaga Listrik.

Dana Kompensasi adalah dana yang dibayarkan oleh Pemerintah kepada badan usaha atas kekurangan penerimaan badan usaha sebagai akibat dari kebijakan penetapan harga jual eceran bahan bakar minyak dan tarif tenaga listrik oleh Pemerintah, berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas subsidi bahan bakar minyak dan subsidi listrik yang telah diakui sebagai kewajiban oleh Pemerintah.

Kekurangan Penerimaan Badan Usaha adalah selisih akibat penetapan harga jual eceran bahan bakar minyak jenis bahan bakar minyak tertentu dan/ atau bahan bakar minyak khusus penugasan oleh pemerintah yang lebih rendah dari perhitungan formula atau selisih neto akibat penetapan tarif listrik non subsidi oleh Pemerintah lebih rendah dari tarif tenaga listrik hasil perhitungan formula penyesuaian tarif yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Untuk pemberian kompensasi kepada badan usaha telah dialokasikan dana kompensasi dalam rangka memberikan kompensasi atas kekurangan penerimaan badan usaha akibat kebijakan penetapan harga jual eceran Bahan Bakar Minyak dan Tarif Tenaga Listrik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan pada Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Pengelolaan Belanja Lainnya (BA 999.08).

Dengan demikian terjadi perubahan pencatatan pada sebagian pengeluaran subsidi bahan bakar minyak dan tenaga listrik dari pengeluaran subsidi menjadi pengeluaran lain-lain.

Besaran kompensasi kepada BUMN

Realisasi Belanja Lain-lain TA 2019 adalah sebesar Rp11.7 triliun  atau 10,26 persen dari jumlah yang dianggarkan dalam APBN TA 2019 sebesar Rp114.00 triliun. Pada TA 2019 realisasi belanja lain-lain dana cadangan yaitu sebesar Rp8.0 triliun. Belanja tersebut di antaranya digunakan untuk melakukan pembayaran kewajiban pemerintah terhadap kebijakan tarif listrik TA 2017 sebesar Rp7.5 triliun kepada PT PLN (Persero). Dengan kata lain, belanja tersebut adalah pembayaran hutang kepada PLN atas beban pengeluaran yang sudah terjadi pada 2017.

Pada pos pengeluaran tersebut belanja lain-lain seperti diuraikan di atas tidak terdapat pengeluaran kompensasi kepada PT Pertamina (Persero). Beban dana kompensasi kepada Pertamina dapat ditelusuri pada catatan hutang jangka pendek kepada pihak ketiga kelompok Satker Suspense pada komponen belanja lain-lain.

Per 31 Desember 2019, utang kepada Satker Suspense tercatat sebesar Rp91,09 triliun, naik 56,95 persen dari Rp58,03 triliun pada 31 Desember 2018. Kementerian Keuangan memutuskan untuk membayar utang kepada Satker Suspense tersebut pada TA 2020. Adapun perincian utang kepada Satker Suspense adalah sebagai berikut:

  1. Kompensasi atas Kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Kebijakan Penetapan Tarif Tenaga Listrik Tahun 2018 sebesar Rp23.17 triliun;
  2. Kompensasi atas kekurangan Penerimaan Badan Usaha Akibat Kebijakan Penetapan Tarif Tenaga Listrik adalah sebesar Rp22.25 triliun;
  3. Kompensasi atas kekurangan penerimaan badan usaha akibat penetapan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (HJE BBM) Jenis BBM Tertentu (JBT) dan/atau Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) sebesar Rp45.66 triliun, yang terdiri atas: (a) Rp45 triliun kekurangan penerimaan PT Pertamina (Persero) akibat penetapan HJE BBM JBT, dengan perincian: kekurangan penerimaan akibat penetapan  HJE BBM (JBT) Minyak Solar Tahun 2017 sebesar Rp20.79 triliun dan sebagian kekurangan penerimaan akibat penetapan HJE BBM JBT Minyak Solar Tahun 2018 sebesar Rp24.21 triliun; dan (b) Rp659 miliar kekurangan penerimaan PT AKR Corporindo,Tbk akibat penetapan HJEBBM JBT miliar dengan perincian: kekurangan penerimaan akibat penetapan HJE BBM JBT Minyak Solar Tahun 2017 sebesar Rp259 miliar dan kekurangan penerimaan akibat penetapan HJE BBM JBT Minyak Solar Tahun 2018 sebesar Rp400 miliar.

Kompensasi kepada badan usaha sebagai bentuk baru pengeluaran subsidi BBM

engeluaran pemerintah untuk kompensasi kerugian badan usaha pelaksana program atau yang mendapat penugasan seperti diuraikan di atas sejatinya merupakan bentuk baru dari pengeluaran subsidi. Namun pengeluaran tersebut tidak tercatat sebagai subsidi. Dengan kata lain, pengeluaran subsidi tersebut “tersembunyi” pada pos-pos pengeluaran lain.

Perpres Nomor 43 tahun 2018 dapat dikatakan titik balik dari upaya pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Berdasarkan perpres tersebut penentuan harga BBM khusus dan BBM khusus penugasan kembali ke cara lama, dapat ditentukan oleh Menteri berbeda dengan formula yang tertentu. Pembiayaan atas kebijakan penetapan harga BBM yang lebih rendah dari biaya produksinya dibebankan pada anggaran pemerintah namun tidak tercermin pada pos pengeluaran subsidi.

Kebijakan tersebut mengembalikan persoalan-persoalan lama terkait subsidi bahan bakar minyak dan subsidi energi pada umumnya, di antaranya beban bagi BUMN yang menerima penugasan. Beban tersebut dapat menghambat BUMN yang bersangkutan untuk berkembang sehingga menjadi lebih efektif, kompetitif dan transparan.

~o0o~

F. MOMENTUM PENGHAPUSAN BBM OKTAN RENDAH

Pandemi COVID-19 telah mengubah hampir semua aspek kehidupan, termasuk untuk menghadirkan pembangunan yang lebih berwawasan lingkungan. Salah satu upaya yang bisa segera dilakukan adalah menghapuskan BBM kadar oktan rendah dan mengandung sulfur tinggi. Hampir semua negara telah melakukannya. Tinggal tujuh negara saja yang masih menggunakan BBM RON88, termasuk Indonesia. Hampir semua kendaraan yang diproduksi telah menyesuaikan spesifikasi mesinnya dengan standar minimum RON92.

Harga minyak dunia selama 2019 hingga Agustus stabil di sekitar US$40 per barel. Pasca pandemi diperkirakan harga minyak cenderung tidak akan berfluktuasi tajam. Konsumsi energi dunia, termasuk minyak, telah mengalami penurunan. Elastisitas konsumsi minyak terhadap pertumbuhan ekonomi juga menurun akibat kemajuan teknologi yang lebih hemat energi serta pertumbuhan pesat energi terbarukan.

Harga eceran bensin premium dan Pertalite sudah mendekati harga bensin RON92. Sekaranglah momentum emas untuk meningkatkan kualitas bensin dengan menghapuskan premium dan Pertalite. Kuncinya berada di tangan pemerintah. 

Realisasi penggunaan bensin dengan minimum RON88 bisa diwujudkan mulai tahun 2021 dengan tanpa subsidi. Kalaupun terjadi kenaikan harga minyak, besarnya subsidi plus ongkos penugasan diharapkan tidak lebih dari besarnya subsidi yang berlaku atau yang telah dialokasikan pada APBN 2021.

~o0o~

G. SARAN DAN REKOMENDASI

Subsidi BBM dapat diibaratkan seperti candu yang membuat konsumen terlena dan menimbulkan ketergantungan. Untuk melepaskan diri dari ketergantungan tersebut memang sulit, namun tentu bukan mustahil. Demi kebaikan perekonomian nasional dan kesejahteraan bangsa, secara bertahap subsidi BBM harus dihilangkan. Kebijakan yang sudah dilakukan di awal pemerintahan Presiden Joko Widodo sebenarnya menjadi awal yang sangat baik, karena perlu dilaksanakan konsisten. Berikut ini adalah saran dan masukan berkaitan dengan upaya penghapusan kebijakan subsidi, alokasi anggaran subsidi BBM, mendorong produksi minyak bumi, dan peningkatan ketahanan energi.

  • Mengembalikan aturan penetapan harga BBM sesuai dengan formula sebagaimana di atur oleh Perpres Nomor 191 tahun 2014. Harga biodiesel ditentukan oleh pasar yang efisien.
  • Ketakutan harga BBM berfluktuasi sehingga menyumbang pada inflasi bisa dikurangi dengan:
  • Dana tabungan (semacam dana stabilisasi)
  • On/off PPN atau pungutan khusus.
  • Harga jual eceran BBM ditetapkan berdasarkan formula perhitungan harga patokan yang,
  • sederhana dan mencerminkan keadaan sebenarnya (koefisien berdasarkan data up to date); dan 
  • memperkecil peluang manipulasi dan pemburuan rente.
  • Jika subsidi, karena terpaksa, masih harus diberikan, subsidi BBM seyogianya dapat mendorong rakyat melakukan perubahan pola konsumsi BBM dan restrukturisasi industri perminyakan.
  • Setiap pengeluaran pemerintah untuk menutup perbedaan harga jual dengan harga pokok produksi dimasukkan sebagai pengeluaran subsidi.
  • Kompensasi atas kekurangan penerimaan BUMN penerima penugasan yang terjadi karena kebijakan penetapan harga seyogianya langsung dibayarkan atau setidaknya dibayarkan pada tahun berjalan.
  • Kepastian hukum: tegakkan aturan yang ada atau ubah aturannya
  • Menggalakkan eksplorasi dan eksploitasi dengan rezim yang fleksibel.
  • Menyusun Cetak Biru pengembangan energi untuk mendorong penggunaan sumber energi berkelanjutan dan ramah lingkungan (panas bumi, sinar matahari, air dan angin) dengan memperhatikan perkembangan penggunaan kendaraan listrik.

~o0o~

Rujukan

Chelminski, Kathryn (2018). “Fossil Fuel Subsidy Reform in Indonesia.” In The Politics of Fossil Fuel Subsidies and their Reform, edited by Jakob Skovgaard. Cambridge: Cambridge University Press. [online] Available at: https://www.cambridge.org/core/books/politics-of-fossil-fuel-subsidies-and-their-reform/fossil-fuel-subsidy-reform-in-indonesia/69E6706F3ABFB80052B20E3772404138/core-reader#

Indonesia Research & Strategic Analysis dan Pusat Studi Energi Universitas Gajah Mada (2019). Persoalan Kebijakan dan Tata Kelola Sektor Energi. Laporan Kajian.

Mourougane, Annabelle (2010). Phasing Out Energy Subsidies in Indonesia. OECD Economic Department Working Paper No. 808. [online] Available at:

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, Tahun Anggaran 2004 – 2019.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Nota Keuangan Beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020. Buku II

Tim Reformasi Tata Kelola Migas Nasional (2015). Rekomendasi Akhir: Memperkokoh Kelembagaan Sektor Migas Indonesia. Jakarta.

Wood Mackenzie (2019). The Energy Transition. Laporan Kajian (tidak dipublikasi).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar