Jumat, 02 Februari 2024

Pengawasan Proses Pemilu secara Digital Bisa Melibatkan Masyarakat Luas

 


Pengawasan publik menyambut Pemilihan Umum 2024 bisa dilakukan dengan teknologi digital sehingga dapat melibatkan masyarakat luas. Pemantauan menyeluruh sangat diperlukan karena pesta demokrasi kali ini dianggap mengkhawatirkan.

Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi Erry Riyana Hardjapamekas menilai proses pemilu di tahun 2024 perlu dicermati berbagai pihak. Sejumlah problem muncul di tengah masyarakat menjelang hari pencoblosan dan berpotensi pada konflik sosial jika tidak diwaspadai dengan baik.

”Situasi yang berkembang jelang pemilu ini sangat mengkhawatirkan. Kami sangat peduli dengan proses jalannya pemilu, bukan hasilnya,” ujarnya seusai melakukan sosialisasi Jaga Pemilu di Bandung, Jawa Barat, Jumat (2/2/2024).

Kepedulian ini, lanjut Erry, menjadi landasan sejumlah pihak membuat gerakan Jaga Pemilu. Kelompok ini memastikan setiap aktor pemilu, mulai dari petugas, peserta, hingga pemilih menjalankan fungsinya masing-masing secara integritas dan tanpa penyimpangan.

”Gerakan ini dimulai sejak November 2023. Awal tahun 2024, aspek legalitas sudah dipenuhi dan kami telah resmi menjadi mitra Bawaslu. Semua bentuk laporan dari relawan akan kami sampaikan dan jika Bawaslu tidak menanggapi, kami akan menyiapkan tim advokasi,” ujar Erry yang menjadi Ketua Badan Pengawas Jaga Pemilu.

Hingga Februari 2024, jumlah sukarelawan yang telah mendaftar mencapai 2.000 orang. Mereka bisa melaporkan bentuk kecurangan dan pelanggaran dalam pemilu ke laman pengaduan yang bisa diakses melalui situs jagapemilu.com.

Erry mengapresiasi ribuan warga yang bersedia menjadi sukarelawan. Mereka hendak mengawasi rangkaian pesta demokrasi ini karena ada banyak hal yang menjadi perhatian.

Dia berujar, setidaknya ada sejumlah masalah yang mengusik di tahun politik ini, mulai dari kecenderungan politik dinasti hingga tirani yang memanfaatkan institusi hukum. Selain itu, ada potensi pemanfaatan anggaran negara hingga lemahnya penyelenggara pemilu.

”Prahara ini berdampak pada konflik sosial yang mengancam persatuan dan kesatuan. Ini dikhawatirkan menjadi arus balik otoritarianisme. Berbagai kalangan memprediksi penurunan derajat demokrasi,” ujarnya.

Kondisi ini, lanjut Erry, bisa berimbas kepada aspek lainnya, mulai dari penegakan hak asasi manusia hingga pemberantasan korupsi. Situasi yang berkembang semakin mengkhawatirkan jika tidak diawasi dengan baik dan perlu keterlibatan masyarakat yang lebih luas.

Divisi Hukum Jaga Pemilu Rusdi Marpaung menyatakan, Jaga Pemilu tidak hanya menunggu laporan dari para sukarelawan. Pihaknya juga mengawasi jalannya kampanye dan dinamika yang ada melalui media sosial.

”Kalau laporan dari relawan, baru kurang dari 100 dugaan pelanggaran. Namun, kami mengamati, banyaknya pelanggaran di lapangan ini berasal dari politik uang, netralitas aparat, hingga penggunaan fasilitas negara,” ujarnya.

Maraknya pelanggaran ini, lanjut Rusdi, perlu dicermati para sukarelawan dan langsung melaporkannya jika terjadi di lapangan. Identitas pelapor juga bisa dirahasiakan jika laporan yang dilakukan berpotensi memicu keresahan.

”Laporan yang diterima bisa menggunakan identitas anonim. Namun, relawan yang akan mencoba untuk bergabung memang kami minta informasi KTP-nya. Keamanan dan privasi terjamin, identitas itu untuk verifikasi relawan dan bukan mesin,” ujarnya.

Widianti (59), salah seorang sukarelawan, menilai program ini cukup membantu. Dia mulai melihat beberapa potensi pelanggaran di sekitar tempat tinggalnya. Namun, ia belum tahu tempat pengaduan yang aman.

”Kalau identitas dirahasiakan seperti ini, saya bisa lebih tenang. Beberapa orang sudah ada yang datang memberikan uang. Namun, saya tolak semua. Kalau seperti ini, saya bisa melaporkannya lebih jelas tanpa harus diketahui orang lain,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar