Minggu, 10 November 2019

Menko PMK Bahas Kenaikan Tarif BPJS Kesehatan


Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy, segera melakukan pembahasan rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar dua kali lipat, yang telah ditetapkan Presiden Joko Widodo. Penetapan itu mulai berlaku pada 1 Januari 2020 mendatang.

Muhadjir mengatakan, bakal melakukan pembahasan rencana itu bersama sejumlah menteri.

Rapat lintas kementerian ini, lanjut dia akan menjadi tempat pelaporan dan kajian, terutama dari Kementerian Kesehatan dan Kementerian Keuangan tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

“Saya sudah dapat surat dari Menkes dan nanti akan kita rapatkan lintas kementerian soal itu, terutama kita harus dengar dari Menkeu, bu Sri Mulyani soal kenaikan iuran BPJS ini,” kata Muhadjir di Malang, Jawa Timur, Sabtu (9/11/2019).

Muhadjir mengatakan pemerintah tak bermaksud membebani masyarakat dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Dia pun meminta agar masyarakat yang terkena kenaikan iuran ini mendukung semangat gotong-royong. Karena dengan kenaikan ini akan lebih banyak masyarakat yang terbantu khususnya warga miskin.

“Jadi ini mohon saya ingin mengimbau kepada semua yang terkena (kenaikan) iuran dari BPJS mulai Januari 2020, saya mohon kesadarannya bahwa ini bukan maksud pemerintah membebani. Tapi marilah kita dukung semangat gotong royong,” ujarnya.

Pemerintah akan menetapkan tarif iuran BPJS Kesehatan yang relevan dan akan dibahas bersama dengan DPR sehingga masyarakat tidak perlu khawatir terhadap kenaikan tarif BPJS Kesehatan.

DPR juga meminta BPJS Kesehatan melakukan pembersihan data terlebih dahulu. Berdasarkan laporan yang diterima Muhadjir, ada sebanyak enam juta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang identitasnya tidak dikenali. Melalui pembersihan data ini warga yang tidak dikenail akan dikeluarkan dan diganti dengan warga yang teridentifikasi dengan baik.

Jika ada subsidi untuk peserta kelas tiga, menurut dia Kepres tak perlu diubah. Muhadjir mengatakan terlebih dulu harus dibenahi persoalannya dan perlu koordinasi dengan kementerian dan lembaga terkait.

“Makanya kita benahi duduk masalahnya, karena kan di Kepres dinaiki tidak serta merta begitu, pasti melibatkan KL (kementerian dan lembaga) itu harus paraf semua, jadi kita tidak bisa menyalahkan salah satu kementerian. Jadi setiap Kepres itu melibatkan KL terkait baru presiden menyetujui, kadang presiden minta second opinion dari pihak Kemensesneg atau pihak lain yang bisa memberikan masukan,” jelasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar